Geliat Desa Kawasan Taman Batang Gadis
05 Desember 2005
(Media) - Udara dingin pegunungan langsung menyergap ketika memasuki Desa Sopotinjak, Kecamatan Batang Natal, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatra Utara (Sumut), Kamis (1/12). Desa ini berada di lereng bukit terusan dari Tor Pangalot.
Rumah-rumah penduduk di desa itu dari struktur bangunan terlihat sama bentuknya. Bangunan rumah mereka persegi dengan jendela dan pintu yang lebar. Selain itu, tidak memiliki ruangan yang bersekat.
Desa yang berpenduduk 55 keluarga ini merupakan salah satu dari 35 desa di 10 kecamatan di sekitar kawasan Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) yang sudah membentuk organisasi konservasi rakyat untuk pelestarian lingkungan di kawasan itu.
Program ini digagas oleh lembaga non-goverment Bitra Konsorsium. Konsorsium itu meliputi Bitra Indonesia, Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) Sumut, Yayasan Pusaka Indonesia, dan Yayasan Samudera seta Conservation Internasional Indonesia (CII).
Menurut Safarudin Siregar dari Konsorsium Bitra, dalam waktu dekat 10 desa lainnya akan diikutsertakan dalam kegiatan pengembangan usaha ekonomi alternatif.
"Butuh dukungan dari pemerintah kabupaten karena kelangsungan TNBG berbasis pada masyarakat sekitar. Harus ada program terencana yang bisa dipahami dan diterima sesuai harapan masyarakat," kata Safarudin.
Menurutnya, investasi konservasi lainnya dapat berupa pengembangan ekonomi alternatif pada 71 desa yang berada di kawasan TNBG dan pengembangannya harus sejalan dengan potensi ekonomi dan kelembagaan setempat.
Sayangnya, Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal sangat berharap kepada organisasi non-goverment ini dalam pengembangan desa di kawasan TNBG. "Minimnya anggaran dari pusat membuat kami tidak bisa berbuat terlalu banyak. Kami akan membantu dalam pembuatan jalan menuju desa-desa itu. Sedangkan untuk pengembangannya kami berharap kepada LSM (lembaga swadaya masyarakat) yang konsen dengan TNBG," ujar Bupati Mandailing Natal Amruy Daulay di Panyabungan.
Disinggung mengenai kehidupan masyarakat di desa sekitar TNBG yang khawatir lahan mereka akan hilang karena belum adanya tapal batas TNBG, Amru menyatakan membutuhkan biaya yang besar untuk membuat tapal batas. "Tapal batas belum bisa dilakukan, tetapi titik koordinat sudah kita miliki. Tidak ada tawar-menawar lagi, 108 ribu hektare adalah lahan TNBG," tandasnya.
Gagal panen
Persoalan lain bagi warga Bukit Malintang yakni gagal panen ribuan hektare sawah dalam dua tahun belakangan. Hal itu diduga terjadi karena upaya perusahaan tambang emas milik PT Sorik Mas Mining (SMM) mulai eksplorasi di kawasan TNBG seluas 55 ribu ha dari 108 ribu ha kawasan hutan nasional pada 2003. "Produksi gabah kering kami tidak banyak jika dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 4,8 ton per ha," kata Sekretaris Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Desa Humban I, Oslan Simangunsong.
Tidak hanya produksi gabah kering yang berkurang, hasil kemiri mereka pun berkurang hingga 50%. Jika sebelumnya mampu menurunkan kemiri dari bukit hingga 100 ton, kini cuma memanen kemiri 50 ton.
Sebenarnya di daerah itu terdapat irigasi Batang Gadis yang seharusnya bisa mengaliri areal persawahan mereka. Namun, sejak berdiri pada 1990, irigasi itu hanya berfungsi dalam dua tahun pertama. "Setelah itu rusak dan tidak lagi mengaliri sawah kami," ungkap Kepala Desa Tasumbing Ali Sadikin.
Menyiapi kondisi itu, Bupati Mandailing Natal Amruy Daulay menegaskan, tetap konsekuen tidak mengizinkan perusahaan itu melakukan kegiatan di dalam kawasan taman nasional. "Memang eksplorasi yang mereka lakukan tidak pernah berhenti. Masalah yang kami hadapi mereka mengantongi izin dari Departemen Sumber Daya Alam," tandasnya.
Yennizar Lubis/Kennorton Hutasoit/N-2
Sumber: http://www.mediaindo.co.id/cetak/berita.asp?id=2005120423522913
Sunday, September 30, 2007
Lubuk Larangan, Modal Social Masyarakat Mandailing
Lubuk Larangan, Modal Sosial Masyarakat Mandailing
BAGI masyarakat Mandailing di Sumatera Utara, sungai adalah berkah alam sebagai modal untuk kepentingan sosial. Hal itu pulalah yang mendorong warga berlomba-lomba membuat lubuk larangan, hingga kini.
Setelah melalui kesepakatan bersama, sebagian aliran sungai yang melintasi di desa kemudian ditetapkan sebagai wilayah yang terlarang untuk diambil hasil ikannya selama jangka waktu tertentu. Biasanya 6-12 bulan. Setelah panen, panitia kemudian membuka lubuk larangan untuk umum dan hasil pengelolaannya digunakan untuk berbagai keperluan pembangunan desa, menyantuni anak-anak yatim, dan mendanai berbagai kegiatan sosial yang lain.
Sistem pengelolaan lubuk larangan ini bisa kita temui di desa-desa yang dilalui aliran Sungai Batang Gadis, mulai dari bagian hulu di kawasan Pakantan, ke arah hilir hingga ke daerah Panyabungan; dan juga di sepanjang Sungai Batang Natal dan beberapa anak sungai di Kecamatan Batang Natal. Bahkan, sistem ini kini telah berkembang luas di seluruh Mandailing Natal, dan sebagian Tapanuli Selatan.
LUDDIN Hasibuan (43), Ketua Pengurus Lubuk Larangan Desa Aek Ngali, mengatakan, untuk membuat lubuk larangan harus dimulai dengan musyawarah desa untuk menentukan batas-batas lubuk larangan. Tanpa kesepakatan bersama, lubuk larangan tidak bisa dibuat. Kemudian warga iuran sebagai modal mendatangkan "orang pintar" (dukun) dan untuk membeli bibit ikan.
Setelah sang dukun membaca doa-doa, kemudian diumumkan kepada masyarakat desa dan desa-desa tetangga bahwa sungai itu telah menjadi lubuk larangan. "Biasanya tak ada yang berani menangkap ikan di lubuk larangan," katanya.
Bagi yang melanggar akan didenda Rp 500.000 per orang. Sanksi lain yang lebih ditakuti warga yaitu hukuman moral dan kutukan.
"Masyarakat sini masih percaya, orang yang berani mengambil ikan di lubuk larangan akan sakit, dan bisa mati jika tidak diobati dukun yang telah menjaga lubuk larangan tersebut," kata Luddin.
Secara tak langsung, pengelola lubuk larangan juga mengandung nilai-nilai konservasi, bisa menjaga kualitas air sungai karena warga desa akan menjaga sungai tidak tercemar agar panen ikan bisa melimpah. Sistem lubuk larangan adalah satu bukti sistem tradisional yang mampu menjaga alam secara lestari. (AHMAD ARIF)
Lubuk Larangan, Modal Sosial Masyarakat Mandailing
BAGI masyarakat Mandailing di Sumatera Utara, sungai adalah berkah alam sebagai modal untuk kepentingan sosial. Hal itu pulalah yang mendorong warga berlomba-lomba membuat lubuk larangan, hingga kini.
Setelah melalui kesepakatan bersama, sebagian aliran sungai yang melintasi di desa kemudian ditetapkan sebagai wilayah yang terlarang untuk diambil hasil ikannya selama jangka waktu tertentu. Biasanya 6-12 bulan. Setelah panen, panitia kemudian membuka lubuk larangan untuk umum dan hasil pengelolaannya digunakan untuk berbagai keperluan pembangunan desa, menyantuni anak-anak yatim, dan mendanai berbagai kegiatan sosial yang lain.
Sistem pengelolaan lubuk larangan ini bisa kita temui di desa-desa yang dilalui aliran Sungai Batang Gadis, mulai dari bagian hulu di kawasan Pakantan, ke arah hilir hingga ke daerah Panyabungan; dan juga di sepanjang Sungai Batang Natal dan beberapa anak sungai di Kecamatan Batang Natal. Bahkan, sistem ini kini telah berkembang luas di seluruh Mandailing Natal, dan sebagian Tapanuli Selatan.
LUDDIN Hasibuan (43), Ketua Pengurus Lubuk Larangan Desa Aek Ngali, mengatakan, untuk membuat lubuk larangan harus dimulai dengan musyawarah desa untuk menentukan batas-batas lubuk larangan. Tanpa kesepakatan bersama, lubuk larangan tidak bisa dibuat. Kemudian warga iuran sebagai modal mendatangkan "orang pintar" (dukun) dan untuk membeli bibit ikan.
Setelah sang dukun membaca doa-doa, kemudian diumumkan kepada masyarakat desa dan desa-desa tetangga bahwa sungai itu telah menjadi lubuk larangan. "Biasanya tak ada yang berani menangkap ikan di lubuk larangan," katanya.
Bagi yang melanggar akan didenda Rp 500.000 per orang. Sanksi lain yang lebih ditakuti warga yaitu hukuman moral dan kutukan.
"Masyarakat sini masih percaya, orang yang berani mengambil ikan di lubuk larangan akan sakit, dan bisa mati jika tidak diobati dukun yang telah menjaga lubuk larangan tersebut," kata Luddin.
Secara tak langsung, pengelola lubuk larangan juga mengandung nilai-nilai konservasi, bisa menjaga kualitas air sungai karena warga desa akan menjaga sungai tidak tercemar agar panen ikan bisa melimpah. Sistem lubuk larangan adalah satu bukti sistem tradisional yang mampu menjaga alam secara lestari. (AHMAD ARIF)
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0505/30/sumbagut/1780777.htm
Memberi Parang Pun Tak Cukup
Selasa, 17 Mei 2005
Membeli Parang Pun Tak Cukup
ASMARA Lubis telah bersabar menunggu selama 12 tahun, sebelum siang itu dia memutuskan untuk menebang pohon kayu manis diladangnya. Karena merasa hasilnya masih kurang banyak, lelaki itu menebang satu lagi pohon kayu manis yang telah berumur delapan tahun.
Asmara lalu menguliti dan menjemur kulit kayu manis hingga kering. Butuh empat hari kerja keras sebelum kulit kayu manis itu siap dijual.
Dan saat tiba hari pekan, minggu lalu, petani dari Desa Huta Godang, Kecamatan Ulu Pungkut, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, itu membawa kulit kayu manis kering miliknya ke pasar. Ia berharap hasil penjualannya bisa dibelikan parang, guna menggantikan parangnya yang rusak. Namun, alangkah kecewanya Asmara karena penjualan dari dua pohon kayu manis yang berumur 12 tahun dan delapan tahun itu hanya menghasilkan uang Rp 21.000. "Jangankan ada sisanya, untuk membeli parang saja tidak cukup. Harga parang Rp 31.000," katanya.
Kisah Asmara adalah potret nyata tentang petani-petani kita. Kerja keras mereka seakan memang tak berharga di dalam sistem perdagangan. Ini memang cerita lama. Tetapi, inilah realitas yang masih juga dialami petani hingga kini.
"Harga jual tanaman kami selalu anjlok, sementara harga-barang-barang seperti pupuk dan obat serta peralatan untuk bertani terus naik," kata Asmara.
Selain kayu manis, berbagai produk pertanian seperti kentang dan kopi, petani di lereng Sorik Merapi kini kian terpuruk. Saat panen, harga kentang hanya Rp 1.700 per kilogram, padahal saat musim tanam petani harus membeli bibit kentang dengan harga selangit. "Saat menanam kentang beberapa bulan lalu, kami harus membeli bibit seharga Rp 12.000 per kilogram. Saat panen, harganya anjlok serendah-rendahnya," ucap Asmara.
Sementara itu, komoditas yang harganya menjanjikan justru tak memberikan hasil produksi yang bagus karena terserang penyakit. "Bagaimana kami bisa menyekolahkan anak jika ekonomi kami terus dicekik seperti ini. Untuk makan saja sangat susah," kata Muhammad Nur Nasution (35), warga Desa Huta Baringin, Kecamatan Tambangan.
Petani kini juga harus menjadi penyangga utama pelestarian kawasan hutan di sekitarnya. Februari lalu, kawasan hutan Batang Gadis telah ditetapkan sebagai taman nasional.
Ucok Lubis, Ketua Organisasi Konservasi Rakyat (OKR) Desa Huta Godang, mengatakan, hancurnya berbagai komoditas pertanian akan mendorong warga desa di pinggiran hutan, di lereng Sorik Merapi, mencari penghasilan ke Taman Nasional Batang Gadis (TNBG).
"Kita tidak bisa menyalahkan masyarakat, jika mereka kembali tergantung ke hutan untuk memenuhi kebutuhan. Kalau kelaparan, masyarakat akan kembali memburu hewan, mencari rotan ataupun kayu. Susah mengajak orang berpikir untuk melindungi hutan kalau mereka lapar," katanya.(Ahmad Arif)
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0505/17/sumbagut/1757784.htm
Membeli Parang Pun Tak Cukup
ASMARA Lubis telah bersabar menunggu selama 12 tahun, sebelum siang itu dia memutuskan untuk menebang pohon kayu manis diladangnya. Karena merasa hasilnya masih kurang banyak, lelaki itu menebang satu lagi pohon kayu manis yang telah berumur delapan tahun.
Asmara lalu menguliti dan menjemur kulit kayu manis hingga kering. Butuh empat hari kerja keras sebelum kulit kayu manis itu siap dijual.
Dan saat tiba hari pekan, minggu lalu, petani dari Desa Huta Godang, Kecamatan Ulu Pungkut, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, itu membawa kulit kayu manis kering miliknya ke pasar. Ia berharap hasil penjualannya bisa dibelikan parang, guna menggantikan parangnya yang rusak. Namun, alangkah kecewanya Asmara karena penjualan dari dua pohon kayu manis yang berumur 12 tahun dan delapan tahun itu hanya menghasilkan uang Rp 21.000. "Jangankan ada sisanya, untuk membeli parang saja tidak cukup. Harga parang Rp 31.000," katanya.
Kisah Asmara adalah potret nyata tentang petani-petani kita. Kerja keras mereka seakan memang tak berharga di dalam sistem perdagangan. Ini memang cerita lama. Tetapi, inilah realitas yang masih juga dialami petani hingga kini.
"Harga jual tanaman kami selalu anjlok, sementara harga-barang-barang seperti pupuk dan obat serta peralatan untuk bertani terus naik," kata Asmara.
Selain kayu manis, berbagai produk pertanian seperti kentang dan kopi, petani di lereng Sorik Merapi kini kian terpuruk. Saat panen, harga kentang hanya Rp 1.700 per kilogram, padahal saat musim tanam petani harus membeli bibit kentang dengan harga selangit. "Saat menanam kentang beberapa bulan lalu, kami harus membeli bibit seharga Rp 12.000 per kilogram. Saat panen, harganya anjlok serendah-rendahnya," ucap Asmara.
Sementara itu, komoditas yang harganya menjanjikan justru tak memberikan hasil produksi yang bagus karena terserang penyakit. "Bagaimana kami bisa menyekolahkan anak jika ekonomi kami terus dicekik seperti ini. Untuk makan saja sangat susah," kata Muhammad Nur Nasution (35), warga Desa Huta Baringin, Kecamatan Tambangan.
Petani kini juga harus menjadi penyangga utama pelestarian kawasan hutan di sekitarnya. Februari lalu, kawasan hutan Batang Gadis telah ditetapkan sebagai taman nasional.
Ucok Lubis, Ketua Organisasi Konservasi Rakyat (OKR) Desa Huta Godang, mengatakan, hancurnya berbagai komoditas pertanian akan mendorong warga desa di pinggiran hutan, di lereng Sorik Merapi, mencari penghasilan ke Taman Nasional Batang Gadis (TNBG).
"Kita tidak bisa menyalahkan masyarakat, jika mereka kembali tergantung ke hutan untuk memenuhi kebutuhan. Kalau kelaparan, masyarakat akan kembali memburu hewan, mencari rotan ataupun kayu. Susah mengajak orang berpikir untuk melindungi hutan kalau mereka lapar," katanya.(Ahmad Arif)
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0505/17/sumbagut/1757784.htm
Mining in National Parks Against National Interests
Mining in National Parks against national interests
Didy Wurjanto*
Environmentalists were likely stunned when Forestry Minister Malam Sabat Kaban confirmed recently he had given approval for a foreign owned gold mining company to operate inside Batang Gadis National Park in Mandailing Natal regency, North Sumatra.
The approval was given by a minister who always preaches about the dangers of deforestation which could lead to national tragedies such as what recently happened in Sinjai, southern Sulawesi. Kaban has frequently vowed to promote ethical principles of sustainable development.
But now he is bargaining with the lives of more than 300,000 Madina people who depend on the surrounding forest. Some forestry experts believe the minister faced strong pressure to give the approval.
Kaban agreed to dispatch a team to review the exploration plan of PT Sorikmas, an Australian-based gold mining company. The plan states the government will allow the company to explore on 55,000 hectares within the 108,000 hectare Batang Gadis National Park. This plan has undoubtedly caused concern among the local government and nearby communities that the tailings from the operation will poison and destroy their agricultural lands and fisheries. Besides this there are concerns of natural disasters such as floods and landslides.
The Bohorok tragedy in North Sumatra was a strong warning to people in the province when severe flooding killed more than 170 people in the Bukit Lawang area in November 2003. Bukit Lawang was originally a water catchment area that should have been protected.
In the wake of the Bohorok tragedy, the governor of North Sumatra, the Madina regent, religious leaders and local community members initiated the establishment of Batang Gadis National Park. The park protects a giant watershed and is home to orangutans, Sumatran tigers, rhinos, hornbills, Malayan tapirs and other key species. The park is an important toehold for conserving the remaining large track of Sumatran rain forests. The establishment of the park was particularly important because it was done at the initiative of local people who feel a strong sense of ownership in the process rather than being something imposed by the government in Jakarta.
Batang Gadis is very important as a life-support system for more than 300,000 people in the regency not only because of its rich biodiversity but also because it protects water catchment areas that maintain the water supply to 13 districts surrounding the park and provides environmental protection to agricultural activities carried out by 73 villages, only two of which are located inside the park. There are no logging concessions or large-scale plantations operating within the park.
It is worthwhile to repeat that the process to obtain protected status for Batang Gadis National Park was a bottom-up effort initiated by the local government and communities, the first such effort under the new decentralized legal framework in Indonesia.
This park is now under local management in collaboration with local and international NGOs and the private sector. This model creates less dependency on the central government as it is the local administration that provides the necessary financial and legislative support.
The dispute between the mining company and the people of Madina began when the company under its working contract signed in 1999 claimed Batang Gadis National Park was part of its mining concession. However it is understandable that the people of Madina have been enthusiastic about protecting their rich natural resources, taking advantage of the presence of the 2004 Forestry Law.
This law protects national parks in Indonesia from mining and any other potentially destructive activities.
Among other conservation methods in Indonesia the establishment of a national park is among the most democratic way of protecting forests because the process involves local aspirations and initiatives.
Allowing open-pit mining in the wilderness zone of a national park is against the law. We cannot imagine how devastating it would be in Batang Gadis National Park, because Batang Gadis River, the main river and a source of life for the people of Madina, runs close to the mining exploration sites.
Therefore the Madina government, residents, environmentalists, conservationists and others should work hand in hand to provide accurate information to the decision-makers on the impacts and consequences of a mining operation in a conservation area.
There are arguments that the sanctity of a mining contract should be honored. Some ministries have expressed concern regarding the possible threat by the mining company to seek international arbitration, if not granted exemptions to carry on its work inside the national park.
But this time the Indonesian government should be better prepared. We could use this case to prove to the world how seriously we take the issue of sustainable development.
All Indonesian mining contracts state that the company must obey Indonesian laws and regulations including environmental protection laws. These regulations and laws may change from time to time to adjust to the needs of the environment and social conditions in the country.
The international community will support the Indonesian government in this matter because the global community also benefits from the biodiversity and climate-regulating role of our tropical forests.
*)The writer works for Conservation International. He can be reached at dwurjanto@conservation.org
http://www.conservation.or.id/home.php?modul=news&catid=28&tcatid=340&page=g_news.detail
Didy Wurjanto*
Environmentalists were likely stunned when Forestry Minister Malam Sabat Kaban confirmed recently he had given approval for a foreign owned gold mining company to operate inside Batang Gadis National Park in Mandailing Natal regency, North Sumatra.
The approval was given by a minister who always preaches about the dangers of deforestation which could lead to national tragedies such as what recently happened in Sinjai, southern Sulawesi. Kaban has frequently vowed to promote ethical principles of sustainable development.
But now he is bargaining with the lives of more than 300,000 Madina people who depend on the surrounding forest. Some forestry experts believe the minister faced strong pressure to give the approval.
Kaban agreed to dispatch a team to review the exploration plan of PT Sorikmas, an Australian-based gold mining company. The plan states the government will allow the company to explore on 55,000 hectares within the 108,000 hectare Batang Gadis National Park. This plan has undoubtedly caused concern among the local government and nearby communities that the tailings from the operation will poison and destroy their agricultural lands and fisheries. Besides this there are concerns of natural disasters such as floods and landslides.
The Bohorok tragedy in North Sumatra was a strong warning to people in the province when severe flooding killed more than 170 people in the Bukit Lawang area in November 2003. Bukit Lawang was originally a water catchment area that should have been protected.
In the wake of the Bohorok tragedy, the governor of North Sumatra, the Madina regent, religious leaders and local community members initiated the establishment of Batang Gadis National Park. The park protects a giant watershed and is home to orangutans, Sumatran tigers, rhinos, hornbills, Malayan tapirs and other key species. The park is an important toehold for conserving the remaining large track of Sumatran rain forests. The establishment of the park was particularly important because it was done at the initiative of local people who feel a strong sense of ownership in the process rather than being something imposed by the government in Jakarta.
Batang Gadis is very important as a life-support system for more than 300,000 people in the regency not only because of its rich biodiversity but also because it protects water catchment areas that maintain the water supply to 13 districts surrounding the park and provides environmental protection to agricultural activities carried out by 73 villages, only two of which are located inside the park. There are no logging concessions or large-scale plantations operating within the park.
It is worthwhile to repeat that the process to obtain protected status for Batang Gadis National Park was a bottom-up effort initiated by the local government and communities, the first such effort under the new decentralized legal framework in Indonesia.
This park is now under local management in collaboration with local and international NGOs and the private sector. This model creates less dependency on the central government as it is the local administration that provides the necessary financial and legislative support.
The dispute between the mining company and the people of Madina began when the company under its working contract signed in 1999 claimed Batang Gadis National Park was part of its mining concession. However it is understandable that the people of Madina have been enthusiastic about protecting their rich natural resources, taking advantage of the presence of the 2004 Forestry Law.
This law protects national parks in Indonesia from mining and any other potentially destructive activities.
Among other conservation methods in Indonesia the establishment of a national park is among the most democratic way of protecting forests because the process involves local aspirations and initiatives.
Allowing open-pit mining in the wilderness zone of a national park is against the law. We cannot imagine how devastating it would be in Batang Gadis National Park, because Batang Gadis River, the main river and a source of life for the people of Madina, runs close to the mining exploration sites.
Therefore the Madina government, residents, environmentalists, conservationists and others should work hand in hand to provide accurate information to the decision-makers on the impacts and consequences of a mining operation in a conservation area.
There are arguments that the sanctity of a mining contract should be honored. Some ministries have expressed concern regarding the possible threat by the mining company to seek international arbitration, if not granted exemptions to carry on its work inside the national park.
But this time the Indonesian government should be better prepared. We could use this case to prove to the world how seriously we take the issue of sustainable development.
All Indonesian mining contracts state that the company must obey Indonesian laws and regulations including environmental protection laws. These regulations and laws may change from time to time to adjust to the needs of the environment and social conditions in the country.
The international community will support the Indonesian government in this matter because the global community also benefits from the biodiversity and climate-regulating role of our tropical forests.
*)The writer works for Conservation International. He can be reached at dwurjanto@conservation.org
http://www.conservation.or.id/home.php?modul=news&catid=28&tcatid=340&page=g_news.detail
Murid SD Tabuyung Tidak Cukup Tempat Duduk
Sabtu, 17 Februari 2001
Murid SD Desa Tabuyung Duduk Berdesakan
Kompas/syamin pardede
Medan, Kompas
Sudah dua tahun murid Sekolah Dasar (SD) Negeri 142707 Desa Tabuyung, Kecamatan Muara Batanggadis, Kabupaten Mandailing Natal, harus belajar berdesak-desakan di kelas karena terbatasnya jumlah bangku dan meja belajar. Akibatnya, proses belajar mengajar tidak terlaksana dengan baik hingga kualitas pengetahuan murid SD Negeri di pantai barat Sumatera Utara itu (sekitar 610 kilometer selatan Medan) di bawah standar.
Dalam kunjungan Kompas ke Desa Tabuyung pekan lalu, murid kelas II, III dan VI terbata-bata menjawab pertanyaan tentang pengetahuan umum, matematika, maupun sejarah, termasuk ketika diminta membaca judul berita surat kabar.
Begitu juga murid kelas II, tidak bisa segera menjawab tanggal dan tahun kemerdekaan Indonesia. Sedangkan murid kelas VI masih harus berpikir keras dan makan waktu hampir satu menit untuk menjawab hasil perkalian 25 kali 25.
Kepala SD Negeri 142707 Masbe Siregar, dan wakilnya Sahlan Effendy Siregar mengakui terus terang, kualitas pengetahuan murid masih di bawah standar. Hal itu bukan karena mereka tidak mampu mengajar dengan baik, tetapi lebih disebabkan situasi dan kondisi yang tidak mendukung. Apalagi sebagian murid sering absen dengan berbagai alasan, di antaranya terpaksa harus membantu orangtua bekerja di ladang, atau ikut ke laut menangkap ikan. Sebagian besar dari 655 kepala keluarga penduduk Desa Tabuyung masih tergolong miskin.
"Dalam pelaksanaan evaluasi belajar tahap akhir nasional (ebtanas) kami terpaksa mengambil kebijakan dan memberi kelonggaran sehingga banyak juga murid yang lulus. Jika tidak, besar kemungkinan murid yang lain tak mau lagi sekolah," kata Sahlan Effendy Siregar.
Diresmikan menjadi SD Negeri tahun 1957 (sebelumnya SD swasta-Red), kondisi sekolah enam lokal tersebut sudah memprihatinkan. Dinding papan banyak berlubang, atap seng banyak yang bocor. Jumlah murid kelas I sampai kelas VI tercatat 442 orang, atau kalau seluruh murid hadir berarti tiap kelas rata-rata diisi 72 orang. Malah di kelas III beberapa murid terpaksa duduk di lantai. Sementara jumlah guru sudah memadai, 13 orang termasuk kepala sekolah.
Sampai bosan
Menurut Masbe Siregar, pihaknya sudah beberapa kali minta perhatian Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K) Kabupaten Mandailing Natal untuk segera membuat atau menambah meja dan bangku baru agar proses belajar dan mengajar di SD Desa Tabuyung terlaksana dengan baik. Juga soal perlunya beberapa lokal baru, mengingat jumlah murid dan anak-anak yang sudah memasuki usia sekolah tiap tahun terus bertambah. Namun, permintaan itu sampai sekarang belum direalisasi.
"Sampai bosan kami membicarakan atau melayangkan surat permintaan itu ke atasan," keluh Masbe Siregar yang dibenarkan Kepala Desa Tabuyung Eka Irsyad Hasibuan.
Baik Kepala Dinas P dan K Kabupaten Mandailing Natal Abdul Rajab Pasaribu maupun Kepala Dinas P dan K Sumatera Utara Makmur Pasaribu, tidak berhasil dihubungi untuk konfirmasi. (sp)
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0102/17/daerah/muri21.htm
Murid SD Desa Tabuyung Duduk Berdesakan
Kompas/syamin pardede
Medan, Kompas
Sudah dua tahun murid Sekolah Dasar (SD) Negeri 142707 Desa Tabuyung, Kecamatan Muara Batanggadis, Kabupaten Mandailing Natal, harus belajar berdesak-desakan di kelas karena terbatasnya jumlah bangku dan meja belajar. Akibatnya, proses belajar mengajar tidak terlaksana dengan baik hingga kualitas pengetahuan murid SD Negeri di pantai barat Sumatera Utara itu (sekitar 610 kilometer selatan Medan) di bawah standar.
Dalam kunjungan Kompas ke Desa Tabuyung pekan lalu, murid kelas II, III dan VI terbata-bata menjawab pertanyaan tentang pengetahuan umum, matematika, maupun sejarah, termasuk ketika diminta membaca judul berita surat kabar.
Begitu juga murid kelas II, tidak bisa segera menjawab tanggal dan tahun kemerdekaan Indonesia. Sedangkan murid kelas VI masih harus berpikir keras dan makan waktu hampir satu menit untuk menjawab hasil perkalian 25 kali 25.
Kepala SD Negeri 142707 Masbe Siregar, dan wakilnya Sahlan Effendy Siregar mengakui terus terang, kualitas pengetahuan murid masih di bawah standar. Hal itu bukan karena mereka tidak mampu mengajar dengan baik, tetapi lebih disebabkan situasi dan kondisi yang tidak mendukung. Apalagi sebagian murid sering absen dengan berbagai alasan, di antaranya terpaksa harus membantu orangtua bekerja di ladang, atau ikut ke laut menangkap ikan. Sebagian besar dari 655 kepala keluarga penduduk Desa Tabuyung masih tergolong miskin.
"Dalam pelaksanaan evaluasi belajar tahap akhir nasional (ebtanas) kami terpaksa mengambil kebijakan dan memberi kelonggaran sehingga banyak juga murid yang lulus. Jika tidak, besar kemungkinan murid yang lain tak mau lagi sekolah," kata Sahlan Effendy Siregar.
Diresmikan menjadi SD Negeri tahun 1957 (sebelumnya SD swasta-Red), kondisi sekolah enam lokal tersebut sudah memprihatinkan. Dinding papan banyak berlubang, atap seng banyak yang bocor. Jumlah murid kelas I sampai kelas VI tercatat 442 orang, atau kalau seluruh murid hadir berarti tiap kelas rata-rata diisi 72 orang. Malah di kelas III beberapa murid terpaksa duduk di lantai. Sementara jumlah guru sudah memadai, 13 orang termasuk kepala sekolah.
Sampai bosan
Menurut Masbe Siregar, pihaknya sudah beberapa kali minta perhatian Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K) Kabupaten Mandailing Natal untuk segera membuat atau menambah meja dan bangku baru agar proses belajar dan mengajar di SD Desa Tabuyung terlaksana dengan baik. Juga soal perlunya beberapa lokal baru, mengingat jumlah murid dan anak-anak yang sudah memasuki usia sekolah tiap tahun terus bertambah. Namun, permintaan itu sampai sekarang belum direalisasi.
"Sampai bosan kami membicarakan atau melayangkan surat permintaan itu ke atasan," keluh Masbe Siregar yang dibenarkan Kepala Desa Tabuyung Eka Irsyad Hasibuan.
Baik Kepala Dinas P dan K Kabupaten Mandailing Natal Abdul Rajab Pasaribu maupun Kepala Dinas P dan K Sumatera Utara Makmur Pasaribu, tidak berhasil dihubungi untuk konfirmasi. (sp)
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0102/17/daerah/muri21.htm
Pakantan, Wisata Kebun Kopi Tua Mandailing
Kebun kopi Mandailing berusia ratusan tahun, berpotensi sebagai kawasan ekowisata.
Abdul Hamid Damanik, Affan Surya dan Erikson Sinaga
Pakantan, pernah dijuluki sebagai negeri Gunung Mas. Sebuah kejayaan yang pernah dialami daerah itu antara tahun 1835-1942. Ini terjadi bersamaan dengan penjajahan Belanda atas Mandailing waktu itu. Tetapi, julukan sebagai gunung mas kemudian berakhir seiring dengan masuknya Jepang pada tahun 1942.
Kejayaan Pakantan yang mewakili Mandailing sehingga mendapat julukan sebagai negeri gunung mas tak lain karena hasil kopi arabica-nya yang melimpah. Kebun kopi yang ditanam di dua tempat, yakni di Pakantan Lombang dan Pakantan Dolok memberikan kemakmuran bagi masyarakat karena harganya juga sangat tinggi. Tak heran kalau waktu itu masyarakat Pakantan dapat dengan mudah mengirim anaknya sekolah sampai ke Jawa.
Banyak diantaranya kini menjadi orang-orang sukses di Jakarta. Beberapa orang terkenal di Jakarta asal Pakantan adalah Adnan Buyung Nasution dan Diana Nasution.
Pakantan terdiri dari dua bekas kerajaan kecil, yakni Kerajaan Pakantan Dolok dan Pakantan Lombang. Kini, setelah berada dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, bekas negeri gunung mas itu terpecah menjadi tujuh desa, yakni Desa Huta Lancat, Huta Gambir, Huta Julu, Pakantan Bukit, Huta Toras, Huta Padang dan Desa Huta Bargot. Secara adminisratif, ketujuh desa tersebut saat ini berada dalam wilayah Kecamatan Muara Sipongi, Kabupaten Mandailing Natal.
Menurut salah seorang sesepuh masyarakat Pakantan Dolok, Sutan Baringin Lubis (70), harga kopi arabica sampai Tahun 1942 mencapai Rp 60-80 per 62,5 kilogram. Dalam satu bulan, tambah Sutan Baringin, dapat dihasilkan 25 kilogram kopi kering. Dari hasil kopi itu juga banyak masyarakat yang pergi menunaikan ibadah Haji. Pada waktu itu, Ongkos Naik Haji hanya Rp 600.
Akan tetapi setelah Jepang kemudian menguasai daerah ini harga kopi jatuh sampai 75 persen. Menurut Sutan Baringin Lubis, jatuhnya harga karena Jepang melarang ekspor kopi ke luar negeri. Hal ini membuat masyarakat kemudian enggan mengusahakan kebun kopi itu secara intensif. Kopi Pakantan tak lagi menjanjikan kemakmuran seperti semula.
Meskipun saat ini kebun kopi itu masih dikelola oleh beberapa pewarisnya namun hasilnya tetap tidak memadai. Produksi per hektar per tahun hanya 350 kilogram kopi kering dengan harga Rp 5000 per kilogram.
Menurut Sahli Lubis (35), salah seorang pewaris, hasil kopi mereka saat ini hanya untuk memenuhi kebutuhan lokal saja. Tak heran, kalau kopi asal Pakantan tidak lagi dapat ditemukan di pasaran. Padahal, kata Sahli kualitas rasa kopi daerahnya itu sudah terkenal sampai ke Eropa.
Sisa-sisa kebun kopi arabica yang telah berumur ratusan tahun itu masih dapat dilihat di sekitar Gunung Aek Luane di wilayah bekas kerajaan Pakantan Dolok. Lokasi ini merupakan kawasan penyangga hutan Taman Nasional Batang Gadis (TNBG). Hingga kini kebun kopi tua itu masih tersisa sekitar 5 hektar.
Objek Wisata
Bagi para pecandu kopi sejati yang ingin membuktikan nikmatnya cita rasa kopi Pakantan datang saja ke kampungnya Adnan Buyung Nasution itu. Kopi yang dapat menggetarkan lidah tersebut masih dapat dinikmati di beberapa warung. Bahkan kalau mau masih bisa membawa bubuknya sebagai oleh-oleh.
Bayangkan, bagaimana nikmatnya minum kopi di desa tradisional yang berhawa sejuk dan segar itu. Ditambah masyarakatnya yang ramah dan santun terhadap tamu dari luar membuat kita ingin datang berkali-kali.
Para pengunjung juga bisa melihat bekas istana Kerajaan Pakantan Dolok dan sopo godang tempat masyarakat melakukan pertemuan. Hal itu penulis rasakan ketika berkesempatan berkunjung kesana beberapa waktu yang lalu.
Tidak saja bisa merasakan nikmatnya kopi Pakantan, kita pun masih bisa membuktikan kebun kopi tua yang berada di Gunung Aek Luane sana. Hanya 7 kilometer saja jaraknya dari Desa Huta Gambir ke lokasi kebun kopi tersebut. Melewati jalan setapak, jarak 7 kilometer itu dapat ditempuh dalam 3 jam berjalan kaki. Kondisi jalur yang landai menambah tantangan bagi para petualang. "Itu waktu yang sangat lama", kata Sahli Lubis yang biasa menempuhnya hanya dalam waktu 1,5 jam.
Menurut pengakuan seorang penggila minuman kopi asal Medan yang pernah dua kali berkunjung ke sana, melihat kebun kopi tua Pakantan sangatlah menarik. Sepanjang perjalanan dari desa ke kebun kopi banyak pemandangan yang bisa dinikmati. Burung-burung yang beragam jenis, primata, kijang, rusa dan tumbuhan aneh kerap dapat dilihat selama perjalanan.
Apalagi dalam setengah perjalanan yakni di Bukit Tincuk, kita disuguhi pemandangan alam yang menawan berupa hamparan sawah dan perkampungan tradisonal Pakantan, kata penggila minuman kopi ini. Penulis sendiri membuktikan hal itu. Bahkan, ketika berada di tengah kebun kopi tersebut penulis seakan terhipnotis dan merasa berada di dunia lain.
Sebagai kawasan zona penyangga Taman Nasional Batang Gadis (TNBG), menurut para pemerhati industri pariwisata, Pakantan memang layak dijadikan sebagai daerah tujuan wisata.
Abu Hanifah Lubis, Field Coordinator Conservation International Indonesia (CII) untuk TNBG mendukung hal tersebut. Menurutnya, Pakantan memang layak dijadikan sebagai salah satu daerah pengembangan tujuan wisata minat khusus. Pendapat Abu cukup beralasan, sebab kampungnya Diana Nasution itu memang memiliki prospektif bagus karena objek daya tariknya. ***
Tropika, Hidup Harmonis Dengan Alam
http://www.conservation.or.id/tropika.php?catid=43&tcatid=333&page=g_tropika.index
Abdul Hamid Damanik, Affan Surya dan Erikson Sinaga
Pakantan, pernah dijuluki sebagai negeri Gunung Mas. Sebuah kejayaan yang pernah dialami daerah itu antara tahun 1835-1942. Ini terjadi bersamaan dengan penjajahan Belanda atas Mandailing waktu itu. Tetapi, julukan sebagai gunung mas kemudian berakhir seiring dengan masuknya Jepang pada tahun 1942.
Kejayaan Pakantan yang mewakili Mandailing sehingga mendapat julukan sebagai negeri gunung mas tak lain karena hasil kopi arabica-nya yang melimpah. Kebun kopi yang ditanam di dua tempat, yakni di Pakantan Lombang dan Pakantan Dolok memberikan kemakmuran bagi masyarakat karena harganya juga sangat tinggi. Tak heran kalau waktu itu masyarakat Pakantan dapat dengan mudah mengirim anaknya sekolah sampai ke Jawa.
Banyak diantaranya kini menjadi orang-orang sukses di Jakarta. Beberapa orang terkenal di Jakarta asal Pakantan adalah Adnan Buyung Nasution dan Diana Nasution.
Pakantan terdiri dari dua bekas kerajaan kecil, yakni Kerajaan Pakantan Dolok dan Pakantan Lombang. Kini, setelah berada dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, bekas negeri gunung mas itu terpecah menjadi tujuh desa, yakni Desa Huta Lancat, Huta Gambir, Huta Julu, Pakantan Bukit, Huta Toras, Huta Padang dan Desa Huta Bargot. Secara adminisratif, ketujuh desa tersebut saat ini berada dalam wilayah Kecamatan Muara Sipongi, Kabupaten Mandailing Natal.
Menurut salah seorang sesepuh masyarakat Pakantan Dolok, Sutan Baringin Lubis (70), harga kopi arabica sampai Tahun 1942 mencapai Rp 60-80 per 62,5 kilogram. Dalam satu bulan, tambah Sutan Baringin, dapat dihasilkan 25 kilogram kopi kering. Dari hasil kopi itu juga banyak masyarakat yang pergi menunaikan ibadah Haji. Pada waktu itu, Ongkos Naik Haji hanya Rp 600.
Akan tetapi setelah Jepang kemudian menguasai daerah ini harga kopi jatuh sampai 75 persen. Menurut Sutan Baringin Lubis, jatuhnya harga karena Jepang melarang ekspor kopi ke luar negeri. Hal ini membuat masyarakat kemudian enggan mengusahakan kebun kopi itu secara intensif. Kopi Pakantan tak lagi menjanjikan kemakmuran seperti semula.
Meskipun saat ini kebun kopi itu masih dikelola oleh beberapa pewarisnya namun hasilnya tetap tidak memadai. Produksi per hektar per tahun hanya 350 kilogram kopi kering dengan harga Rp 5000 per kilogram.
Menurut Sahli Lubis (35), salah seorang pewaris, hasil kopi mereka saat ini hanya untuk memenuhi kebutuhan lokal saja. Tak heran, kalau kopi asal Pakantan tidak lagi dapat ditemukan di pasaran. Padahal, kata Sahli kualitas rasa kopi daerahnya itu sudah terkenal sampai ke Eropa.
Sisa-sisa kebun kopi arabica yang telah berumur ratusan tahun itu masih dapat dilihat di sekitar Gunung Aek Luane di wilayah bekas kerajaan Pakantan Dolok. Lokasi ini merupakan kawasan penyangga hutan Taman Nasional Batang Gadis (TNBG). Hingga kini kebun kopi tua itu masih tersisa sekitar 5 hektar.
Objek Wisata
Bagi para pecandu kopi sejati yang ingin membuktikan nikmatnya cita rasa kopi Pakantan datang saja ke kampungnya Adnan Buyung Nasution itu. Kopi yang dapat menggetarkan lidah tersebut masih dapat dinikmati di beberapa warung. Bahkan kalau mau masih bisa membawa bubuknya sebagai oleh-oleh.
Bayangkan, bagaimana nikmatnya minum kopi di desa tradisional yang berhawa sejuk dan segar itu. Ditambah masyarakatnya yang ramah dan santun terhadap tamu dari luar membuat kita ingin datang berkali-kali.
Para pengunjung juga bisa melihat bekas istana Kerajaan Pakantan Dolok dan sopo godang tempat masyarakat melakukan pertemuan. Hal itu penulis rasakan ketika berkesempatan berkunjung kesana beberapa waktu yang lalu.
Tidak saja bisa merasakan nikmatnya kopi Pakantan, kita pun masih bisa membuktikan kebun kopi tua yang berada di Gunung Aek Luane sana. Hanya 7 kilometer saja jaraknya dari Desa Huta Gambir ke lokasi kebun kopi tersebut. Melewati jalan setapak, jarak 7 kilometer itu dapat ditempuh dalam 3 jam berjalan kaki. Kondisi jalur yang landai menambah tantangan bagi para petualang. "Itu waktu yang sangat lama", kata Sahli Lubis yang biasa menempuhnya hanya dalam waktu 1,5 jam.
Menurut pengakuan seorang penggila minuman kopi asal Medan yang pernah dua kali berkunjung ke sana, melihat kebun kopi tua Pakantan sangatlah menarik. Sepanjang perjalanan dari desa ke kebun kopi banyak pemandangan yang bisa dinikmati. Burung-burung yang beragam jenis, primata, kijang, rusa dan tumbuhan aneh kerap dapat dilihat selama perjalanan.
Apalagi dalam setengah perjalanan yakni di Bukit Tincuk, kita disuguhi pemandangan alam yang menawan berupa hamparan sawah dan perkampungan tradisonal Pakantan, kata penggila minuman kopi ini. Penulis sendiri membuktikan hal itu. Bahkan, ketika berada di tengah kebun kopi tersebut penulis seakan terhipnotis dan merasa berada di dunia lain.
Sebagai kawasan zona penyangga Taman Nasional Batang Gadis (TNBG), menurut para pemerhati industri pariwisata, Pakantan memang layak dijadikan sebagai daerah tujuan wisata.
Abu Hanifah Lubis, Field Coordinator Conservation International Indonesia (CII) untuk TNBG mendukung hal tersebut. Menurutnya, Pakantan memang layak dijadikan sebagai salah satu daerah pengembangan tujuan wisata minat khusus. Pendapat Abu cukup beralasan, sebab kampungnya Diana Nasution itu memang memiliki prospektif bagus karena objek daya tariknya. ***
Tropika, Hidup Harmonis Dengan Alam
http://www.conservation.or.id/tropika.php?catid=43&tcatid=333&page=g_tropika.index
Natal Dibayangi Cemas
Minggu, 24 Desember 2006
Korban Gempa
Natal Dibayangi Harap-harap Cemas
Natal tinggal dua hari lagi. Namun, tak ada persiapan khusus yang dilakukan umat Kristen di Pakantan, Muara Sipongi, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara.
"Tak ada jamuan Natal tahun ini. Masuk gereja saja kami takut keruntuhan bangunan jika gempa terjadi," kata Tiroma boru Tupang (74), warga Dusun Huta Padang, Desa Pakantan.
Bangku-bangku gereja berjajar dalam tenda terpal biru di depan Gereja Kristen Protestan Angkola, Pakantan. Sudah sepekan terakhir puluhan warga tidur dalam tenda itu.
Gempa berkekuatan 5,6 skala Richter yang mengguncang Muara Sipongi, Mandailing Natal, Senin lalu, membuat warga trauma. Hingga kini, lebih dari 6.000 warga Muara Sipongi mengungsi. Sementara 2.000 warga lainnya menumpang di rumah sanak famili.
Pada malam hari tak terhitung warga yang tinggal di tenda-tenda. Lebih dari 700 rumah rusak dan tak layak ditempati lagi. Meskipun frekuensinya menurun, gempa susulan masih terjadi, termasuk di Pakantan.
Pakantan terletak 12 kilometer dari pusat gempa. Baru hari Kamis lalu akses masuk ke Pakantan terbuka setelah jalan terkubur longsoran tebing. Bagi masyarakat Mandailing Natal, Pakantan dikenal karena tradisi Kristen-nya yang sudah tua, sejak tahun 1834.
Hal itu bermula dari kedatangan seorang misionaris Belanda bernama Verhuven di daerah itu untuk mendirikan gereja. Verhuven datang dari Padang setelah berlangsung Perang Paderi tahun 1822.
Menurut sejarawan Mandailing, Pangaduan Lubis, misionaris Belanda itu kemudian bekerja di Angkola, daerah Padang Sidempuan, lalu ke Sipirok dan Tarutung. Di tengah masyarakat Mandailing Natal yang sebagian beragama Islam, terselip sedikit pemeluk Kristen di Pakantan. Kehidupan gereja di Pakantan berlangsung baik dengan komunitas yang mencakup 15 keluarga.
"Tahun 1940-an, jumlah jemaat mencapai 300-an orang. Tapi kini tinggal sedikit karena banyak yang pergi," kata Saut Nauli Nasution (43), warga Pakantan. Kerukunan dengan warga Muslim sangat guyub sebab mereka masih satu garis keturunan. "Kalau ada tetangga yang hajatan, semua membantu ramai-ramai," kata Saut.
Kebanyakan penduduk hidup sebagai petani. Jika mereka membutuhkan uang, barulah beras simpanan dijual. Makan bersama adalah sesuatu yang lumrah. Jika satu orang punya beras, yang lain punya lauk, mereka makan bersama-sama. Namun, Natal kali ini makan bersama belum direncanakan. Semua masih waswas adanya gempa susulan.
Meskipun rumah-rumah mereka yang terbuat dari kayu tak berubah saat diguncang gempa, warga masih takut masuk rumah, apalagi masuk gereja yang merupakan bangunan permanen. Kecemasan terutama menghantui para ibu dan anak- anak. Jika gempa datang saat acara kebaktian, kekhidmatan bisa buyar.
"Belum ada orang yang tengok kami," kata Tiroma. Menurut warga, baru Kepala Desa Pakantan yang memberi satu dus mi instan. Dalam sekejap, makanan itu habis meski sekitar 60 warga belum kebagian.
Tahun ini mereka merayakan Natal di bawah ancaman bahaya. (WSI/MHD)
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0612/24/Natal/3196496.htm
Korban Gempa
Natal Dibayangi Harap-harap Cemas
Natal tinggal dua hari lagi. Namun, tak ada persiapan khusus yang dilakukan umat Kristen di Pakantan, Muara Sipongi, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara.
"Tak ada jamuan Natal tahun ini. Masuk gereja saja kami takut keruntuhan bangunan jika gempa terjadi," kata Tiroma boru Tupang (74), warga Dusun Huta Padang, Desa Pakantan.
Bangku-bangku gereja berjajar dalam tenda terpal biru di depan Gereja Kristen Protestan Angkola, Pakantan. Sudah sepekan terakhir puluhan warga tidur dalam tenda itu.
Gempa berkekuatan 5,6 skala Richter yang mengguncang Muara Sipongi, Mandailing Natal, Senin lalu, membuat warga trauma. Hingga kini, lebih dari 6.000 warga Muara Sipongi mengungsi. Sementara 2.000 warga lainnya menumpang di rumah sanak famili.
Pada malam hari tak terhitung warga yang tinggal di tenda-tenda. Lebih dari 700 rumah rusak dan tak layak ditempati lagi. Meskipun frekuensinya menurun, gempa susulan masih terjadi, termasuk di Pakantan.
Pakantan terletak 12 kilometer dari pusat gempa. Baru hari Kamis lalu akses masuk ke Pakantan terbuka setelah jalan terkubur longsoran tebing. Bagi masyarakat Mandailing Natal, Pakantan dikenal karena tradisi Kristen-nya yang sudah tua, sejak tahun 1834.
Hal itu bermula dari kedatangan seorang misionaris Belanda bernama Verhuven di daerah itu untuk mendirikan gereja. Verhuven datang dari Padang setelah berlangsung Perang Paderi tahun 1822.
Menurut sejarawan Mandailing, Pangaduan Lubis, misionaris Belanda itu kemudian bekerja di Angkola, daerah Padang Sidempuan, lalu ke Sipirok dan Tarutung. Di tengah masyarakat Mandailing Natal yang sebagian beragama Islam, terselip sedikit pemeluk Kristen di Pakantan. Kehidupan gereja di Pakantan berlangsung baik dengan komunitas yang mencakup 15 keluarga.
"Tahun 1940-an, jumlah jemaat mencapai 300-an orang. Tapi kini tinggal sedikit karena banyak yang pergi," kata Saut Nauli Nasution (43), warga Pakantan. Kerukunan dengan warga Muslim sangat guyub sebab mereka masih satu garis keturunan. "Kalau ada tetangga yang hajatan, semua membantu ramai-ramai," kata Saut.
Kebanyakan penduduk hidup sebagai petani. Jika mereka membutuhkan uang, barulah beras simpanan dijual. Makan bersama adalah sesuatu yang lumrah. Jika satu orang punya beras, yang lain punya lauk, mereka makan bersama-sama. Namun, Natal kali ini makan bersama belum direncanakan. Semua masih waswas adanya gempa susulan.
Meskipun rumah-rumah mereka yang terbuat dari kayu tak berubah saat diguncang gempa, warga masih takut masuk rumah, apalagi masuk gereja yang merupakan bangunan permanen. Kecemasan terutama menghantui para ibu dan anak- anak. Jika gempa datang saat acara kebaktian, kekhidmatan bisa buyar.
"Belum ada orang yang tengok kami," kata Tiroma. Menurut warga, baru Kepala Desa Pakantan yang memberi satu dus mi instan. Dalam sekejap, makanan itu habis meski sekitar 60 warga belum kebagian.
Tahun ini mereka merayakan Natal di bawah ancaman bahaya. (WSI/MHD)
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0612/24/Natal/3196496.htm
Subscribe to:
Posts (Atom)