Sunday, September 30, 2007

Petambang Liar di Bibir Taman Nasional Batang Gadis

Petambang Liar di Bibir Taman Nasional Batang Gadis

Panyabungan – ”Banyak dapat emasnya, dik?” tanya SH kepada lima bocah lelaki yang tengah asyik mencari emas di Sungai Batang Gadis, Kecamatan Batang Natal, Mandailing Natal (Madina). ”Nggak, kok, Bang. Adapun cuma kecil sekali.”

”Lalu, mau diapakan emasnya?” ”Dijuallah, bang,” kata seorang dari lima anak tersebut sambil tersenyum. Kelima anak tersebut mengaku mencari emas hanya sampingan. Mereka melakukannya di saat libur sekolah.

Tak jauh dari lokasi mereka, enam pria dewasa tengah menambang emas di sebuah lubang sedalam 4 meter dengan diameter sampai 5 meter. Mereka menggunakan peralatan yang lebih modern, misalnya saja sudah menggunakan mesin penyedot air dari sungai ke lubang galian.

Lalu dari lubang galian, air dan batu-batuan kecil disedot dan dibuang ke atas sebuah penampang kayu yang dasarnya dialasi dengan karpet.

”Di karpet itulah emasnya tersangkut. Dan pada sore hari, barulah emas itu diambil,” ujar Dapat Nasution (54), pemilik pertambangan liar atau pertambangan emas tanpa izin (peti) tersebut saat SH di areal penambangan beberapa waktu lalu.

Dengan demikian, tak seperti yang dikhawatirkan banyak pihak. Petambang liar yang banyak ditemukan di sungai Batang Gadis sama sekali tak menggunakan air raksa sebagai zat pemisah dan penyuci emas yang ditambang. Tak hanya itu, mereka juga menumpuk kembali batu-batu berukuran besar menjadi benteng-benteng penahan tanah di dalam lubang galian tersebut. Kemungkinan untuk runtuh kecil sekali terjadi.

Para penambang liar di Mandailing Natal, sesungguhnya hanya memanfaatkan sedikit kawasan di sepanjang bibir Sungai Batang Gadis yang masih termasuk daerah yang direncanakan sebagai kawasan Taman Nasional Batang Gadis (TNBG).

Sayangnya, sebuah penambangan, sekalipun dalam kapasitas yang sangat kecil, tetap memberikan dampak terhadap lingkungan sekitarnya. Begitu juga dengan mereka ini. Di sepanjang Sungai Batang Gadis banyak warisan bekas galian yang tak ditutupi kembali.

Di lubang yang sebelumnya misalnya, para pekerjanya menggali areal di bibir sungai hingga berdiameter 10 meter dengan kedalaman sampai 10 meter. Sekarang tetap masih menganga dengan ditutupi air sehingga menciptakan lubang dalam.

Menurut Ismayadi Samsoedin - Northern Sumatra Corridor Project Manager Conservation International (CI) Indonesia, kawasan yang direncanakan sebagai taman nasional termasuk Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Gadis. Luasnya sekitar 386.455 hektar atau 58,8% dari luas Kabupaten Madina. Sedang luas kawasan taman nasional 108.000 hektar.

Sejauh ini, belum ada larangan terhadap warga untuk menghentikan pertambangan liar tersebut. Meski kawasan galian berada di sepanjang Sungai Batang Gadis yang masih termasuk daerah kawasan TNGB.

Menurut Dapat, mereka mendapatkan emas minimal sebanyak 8 gram setiap harinya. Tapi kadang-kadang bisa sampai 30 gram. ”Jadi kalau rezeki lagi baik, ya emas yang didapat cukup lumayan. Pernah sampai 30 gram.” Dengan begitu, jumlah uang yang diterima Dapat dan beberapa pekerjanya lumayan besar.

”Kalau lagi dapat banyak, kita bisa dapat Rp 100.000 per hari. Tapi kalau tidak, minimal Rp 30.000 seharinya,” timpal Lubis (25).

Petambang liar di kabupaten Mandailing Natal (Madina) sebenarnya telah berlangsung bertahun-tahun lamanya. Bahkan sejak zaman Belanda, di kawasan yang baru saja dimekarkan dari Kabupaten Tapanuli Selatan pada tahun 2000 lalu itu, sudah lama dikenal dengan emasnya. Tak heran pertambangan pun dilakukan. Baik dalam skala kecil maupun skala besar.

Dalam skala kecil, masyarakat menjadi pelakunya. Dan mereka melakukannya tanpa izin sama sekali. Petambang liar bisa ditemui di dua sungai, yakni sungai Batang Gadis dan sungai Muara Sipongi. Sungai Batang Gadis terdapat di di Kecamatan Batang Natal.

Penambangan liar serupa juga terjadi di Kecamatan Kota Nopan. Di kawasan ini saja setidaknya terdapat lahan seluas 100 hektare yang ditambang masyarakat.

Sejak tahun 1995, Petambang liar mulai marak dan dilakukan secara masal di berbagai desa dan kecamatan.

Itulah yang membuat Pemkab Madina kerepotan mengurus mereka. Pernah Pemkab Madina menyadarkan masyarakat agar mengurus izin penambangannya. Dan sial, sebagian besar pelaku Petambang liar yang terdapat sekitar 2 km dari rencana kawasan TNBG itu malah marah.

”Yang terjadi malah kita ikut menyulut potensi konflik. Ada perlawanan dari masyarakat,” kata Bupati Madina Amru Daulay. Akhirnya upaya membuat Petambang liar memiliki izin batal. Tak hanya itu, sebenarnya

Petambang liar juga berpotensi memicu konflik horizontal. Di mana antara penduduk desa akan saling cemburu untuk berebut wilayah penambangan. Akhirnya Pemkab tak bisa berbuat apa-apa. Peluang untuk menata penambangan secara liar satu-satunya hanyalah melalui pembentukan Taman Nasional Batang Gadis.

Meski tidak mengubah topografi sosial yang telah ada,tapi setidaknya aturan untuk pengelolaan kawasan hutan lindung, TNBG dan lain sebagainya akan lebih kuat secara hukum untuk melestarikan hutan di Madina. Kalau tidak, Pemkab Madina akan kesulitan menata kabupaten baru itu menjadi madani!

(SH/darma lubis/bayu dwi mardana) - Sinar Harapan, 21 Januari 2004