Friday, June 29, 2007

Menghapus Tangis Orang-Orang Pinggiran

Pilkada Kabupaten Mandailing Natal

Menghapus Tangis Orang-orang Pinggiran

Jumat, 27 Mei 2005

Ajang pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung di Kabupaten Mandailing Natal (Madina) Provinsi Sumatera Utara akan menjadi panggung drama raksasa bagi rakyat kecil. Sebab, mayoritas masyarakat di daerah ini masih terbelakang secara ekonomi karena tinggal di kawasan pinggiran yang jauh dari pusat-pusat perkembangan peradaban. Sehingga, warga setempat menggantungkan harapan pada pesta demokrasi lokal perdana 27 Juni 2005 mendatang agar dapat mengubah nasib menjadi lebih baik. Asa mereka seolah-olah berkata, bila "gajah-gajah" kandidat bertarung, "pelanduk" jangan sampai mati di tengah.

Sekitar 200 desa di Madina termasuk Tapanuli Selatan (Tapsel) masih terisolir dan penduduk belum merdeka dari kemiskinan, karena tak tersentuh berbagai infrastruktur pembangunan, seperti sarana jalan, informasi, pendidikan dan kesehatan. Secara politik Madina dan Tapsel masih berada dalam kondisi stabil sehingga disarankan orientasi pemerintah terpilih kelak memprioritaskan pembangunan daerah-daerah pinggiran tersebut.

Karena, beberapa infrastruktur penting di Madina dan Tapsel masih sangat pincang. Misal, banyak desa yang belum memiliki puskesmas. Sementara bagi yang sudah ada puskesmas, tidak memiliki dokter. Disebutkan, 200 desa tersebut harus segera diperhatikan, karena kondisi daerah maupun tingkat kesejahteraannya benar-benar sangat memprihatinkan. Seperti, desa-desa di Kecamatan Muara Batanggadis, Batahan dan Natal sangat mengharapkan kandidat yang menjadi pemenang pilkada kelak memprioritaskan pembangunan infrastruktur yang selama ini terabaikan.

Berdasarkan catatan, ada banyak jalan provinsi di Madina dan Tapsel yang rusak berat, terutama sepanjang jalan ke arah Natal, Sidimpuan-Tapsel, Aek Latong. Kondisi jalan sudah tak berfungsi, sehingga satu-satunya upaya harus diganti dengan jalan alternatif yang sudah disurvei tahun 2001.

Warga mendesak Pemprov Sumatera Utara (Sumut) mencarikan solusi terhadap kondisi jalan propinsi di daerah-daerah, termasuk di Madina dan Tapsel. Karena, sejak otonomi daerah seolah-olah pemprov "lepas tangan" yang berakibat kerusakan semakin parah.
Seperti jalur Padangsidimpuan-Siais sepanjang 15 kilometer rusak total. Lalu, jalan Gunungtua, Kecamatan Dolok juga rusak sepanjang 20 km, dan jalur Aek Godang-Sosopan sepanjang 5 km tak bisa dipakai lagi.

Sementara terkait dengan program peningkatan kesejahteraan masyarakat di Madina, tokoh masyarakat Azhar Karim mengatakan, anggota dewan periode lalu yang melakukan reses ke daerah itu sangat mendukung program replanting terhadap perkebunan rakyat yang sudah tidak produktif seluas 43.000 hektare. Selain soal infrastruktur, rakyat Madina juga kerap ditimpa bencana. Akibat gempa bumi pada 28 Maret 2005 lalu, sebanyak 2.232 warga Desa Tabuyung terpaksa mengungsi dan mendirikan tenda di lokasi Camp PT Keang Nam, perusahaan pengelola hutan di daerah tersebut.

"Mereka tinggal di tenda-tenda darurat," kata Sekretaris Tim Reses DPRD Sumut, Ahmad Hosein Hutagalung dalam laporannya pada sidang pleno DPRD Sumatera Utara di Medan, belum lama ini.

Madina dengan wilayah seluas 6.620 Km2 memiliki 17 kecamatan, 336 desa, 33 kelurahan dan juga memiliki garis pantai sepanjang 170 Km dengan total penduduk 380.546 jiwa atau 82.563 kepala keluarga (KK).

Menurut Hosein, bencana alam mengakibatkan kerusakan beberapa fasilitas umum, rumah penduduk, masjid dan lainnya sehingga memerlukan penanganan secara cepat dan tepat. Dalam kurun waktu tiga bulan sudah terjadi dua kali gempa dan diperkirakan bakal terjadi lagi gempa susulan, sementara lokasi gempa di Desa Tabuyung yang dekat dengan bibir pantai berimplikasi terhadap korban jiwa dan material yang cukup besar.

Menurut dia, Pemkab Madina telah menyusun program penanggulangan dampak bencana tersebut antara lain dengan merelokasi permanen di atas areal seluas 12 hektare di Desa Tabuyung, Kecamatan Muara Batang Gadis yang membutuhkan biaya sebesar Rp 12,6 miliar. "Untuk itu diharapkan kepada Pemerintah Provinsi Sumut dapat membantu biaya pembangunan rumah masyarakat dan fasilitas umum lain yang telah hancur," tambah dia.

Madina yang Madani

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Madina secara resmi membakukan ungkapan "Madina yang madani" dalam lambang daerah. Lihat saja di bagian bawah logo khas kabupaten tersebut ada tulisan besar: Mandailing Natal, Madina Yang Madani.

Membangun Madina yang Madani, seperti tertera dalam lambang daerah, jelas sejak lama menjadi dambaan masyarakat daerah itu. Persoalannya kini adalah bagaimana obsesi yang begitu indah tersebut akan bisa diwujudkan di lapangan dan dampaknya harus bisa dirasakan masyarakat secara langsung.

"Pencantuman Madina yang madani di lambang daerah Kabupaten Madina jelas memiliki konsekuensi besar dan tanggung jawab moral para pelaksana pemerintahan dan pembangunan di daerah ini. Kami melihatnya itu sebagai utang seluruh aparat pemerintah dan wakil-wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang memang pada saatnya nanti akan ditagih oleh rakyat kembali," ungkap salah seorang warga, Nasiruddin Lubis mengomentari lambang tersebut.

Secara konkret, sampai sekarang, Lubis memang mengaku masih bias dan tidak tahu persis Madina yang madani bagaimana yang menjadi target pemkab. Namun, ia dan masyarakat lain berharap, madani yang dicantumkan di lambang daerah itu arahnya sesuai dengan apa yang ada dalam pikiran masyarakat.

"Bagi kami, madani itu tidak terlalu muluk-muluk. Intinya adalah bagaimana Pemkab Madina bisa membangun daerah ini untuk kepentingan dan kemakmuran masyarakat daerah ini," kata Lubis.

Jika sebagian besar masyarakat Madina masih bias dalam menyikapi kata-kata Madina yang madani, jajaran Pemkab Madina sendiri tampaknya kini justru sudah memiliki strategi dan arah yang jelas dalam menentukan kebijakan pembangunan daerah ini. Dengan demikian, obsesi dan keinginan itu bisa diharapkan dapat dicapai dalam beberapa tahun ke depan.

Dalam rencana strategis, Pemkab Madina secara jelas merumuskan visi pembangunan kabupaten ini adalah bagaimana mewujudkan masyarakat yang maju, mandiri, sejahtera, dan berwawasan lingkungan. Melalui visi tersebut, diharapkan lima tahun ke depan Madina sudah bisa sejajar dengan kabupaten lain di Sumatera Utara.

Target pertama agar bisa sejajar dengan kabupaten lain di Sumatera Utara, jelas sesuatu yang sangat wajar. Karena, Kabupaten Madina baru lahir pada tanggal 23 November 2003 seiring dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1998 tentang pembentukan pemerintahan Kabupaten Mandailing Natal menjadi daerah otonom. Sebelumnya, daerah seluas 662.070 hektar dan berpenduduk sekitar 370.000 jiwa ini merupakan bagian dari Kabupaten Tapanuli Selatan.

"Hingga kini usia Kabupaten Madina masih balita, yakni baru empat tahun. Justru itu, sebagai kabupaten baru target pertama adalah bagaimana harus bisa berlari dan tumbuh cepat sehingga dapat sejajar dengan kabupaten lain di Provinsi Sumatera Utara," tegas mantan Bupati Madina, Amru Daulay.

Menyangkut soal lingkungan yang menjadi penekanan khusus dalam visi pembangunan Kabupaten Madina, jelas tidak bisa lepas dari kondisi dan ketersediaan lahan di daerah ini yang memang sebagian besar berbalut hutan. Jika tidak ditangani hati-hati, ini justru bisa menjadi isu tersendiri yang akan berdampak luas mengusik ketenangan masyarakat setempat.

Lihat saja statistik mengenai lahan di wilayah Kabupaten Madina, di mana sebagian besar memang masih berupa hutan. Rinciannya, hutan negara seluas 317.825 hektare (48 persen) yang hingga kini masih merupakan bagian terluas dari total lahan di daerah itu. Sedangkan sisanya, yakni berupa hutan rakyat seluas 42.176 hektare atau hanya sekitar enam persen dari luas seluruh lahan, perkebunan sekitar 67.707 hektar, rawa-rawa 59.976 hektare, dan selebihnya merupakan areal persawahan, perladangan, tambak, permukiman, dan lain-lain.

Pemanfaatan hutan yang mengabaikan kelestarian lingkungan akan berdampak serius terhadap masyarakat dan masa depan Kabupaten Madina. Degradasi lingkungan, misalnya pembabatan hutan yang tidak terkendali, jelas akan mengancam banyak orang. Dan seandainya hal itu yang terjadi, maka "Mandailing Natal, Madina yang Madani" mungkin hanya akan menjadi hiasan dan sebatas slogan saja.

Sebutan Madina untuk Kabupaten Mandailing Natal terdengar sejak wilayah itu memisahkan diri dari kabupaten induknya, Tapanuli Selatan, tahun 1999. Di daerah perbukitan Kecamatan Panyabungan Timur yang potensial untuk perkebunan, diketahui terdapat tanaman ganja. Aparat keamanan memperkirakan, ada sekitar 11-14 hektare ladang ganja. Baru 9 hektare yang ditemukan dan disita polisi.

Mengetahui di wilayahnya terdapat ladang ganja, pemerintah kabupaten, aparat keamanan bersama masyarakat, sepakat membasmi ganja dan senjata api. Tanggapan positif warga tercermin dari penyerahan 548,8 kilogram ganja dan 68 senjata api rakitan pertengahan Juli 2003 kepada Pemerintah Kabupaten Madina yang diteruskan ke polisi.

Pembasmian ladang ganja masih berlangsung, namun tugas berat sudah di depan mata, yaitu penanganan petani untuk alih usaha. Alternatif yang ditawarkan adalah penanaman karet dan kulit manis. Selain karena daerah perbukitan yang subur, sebagian masyarakat di sana hidup dari kulit manis. (Yudhiarma/berbagai sumber)

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=110090