Sunday, July 1, 2007

Bintuas dan Tabuyung, Dua Desa di Kabupaten Madina, Diambang Kepupusan

Bintuas dan Tabuyung, Dua Desa di Kabupaten Madina, Diambang Kepupusan
Oleh Marzuki Usman

Pada tanggal 26 Maret 2005, saya bersama sahabat Doli D. Siregar mengunjungi Desa Bintuas di Kecamatan Natal dan Desa Ta-bu-yung di Kecamatan Batang Gadis, Kabupaten Madina, Sumatera Utara. Maksud di hati ingin membantu penduduk di kedua desa yang juga kena sapu ombak tsunami pada tangggal 26 Desember 2004. Kedua desa itu tidaklah separah di Aceh, akan tetapi banyak juga rumah-rumah yang hanyut disapu ombak tsunami.

Semula, sudah kita programkan untuk merelokasikan desa itu ke tempat yang lebih tinggi. Rumah pemula (stater house) dibuat yang nantinya dapat dikembangkan oleh penghuninya. Setiap rumah dialokasikan 200 meter tanah. Di samping itu, nelayan juga dibantu agar dapat melaut kembali. Akhirnya nanti dicarikan atau diusahakan lagi tanah masing-masing seluas 2 hektar per kepala keluarga agar rakyat desa itu dapat hidup dengan layak. Pokoknya dengan bantuan dana dari Baznas (Badan Amal Zakat dan Infak Nasional) dan diusahakan pula bantuan dari badan-badan lain baik dari dalam negeri maupun luar negeri, kami sudah bermimpi akan dapat menyaksikan rakyat di kedua desa ini bahagia dan anak-anaknya berpendidikan yang tinggi, dan nantinya pada jadi menteri kabinet dan konglomerat. Faktanya, setelah kita sampai di kedua desa ini, ternyata hal-hal sebagai berikut kami temukan:

Pertama, kedua desa baru terlepas dari isolasi sejak tahun 1999, enam tahun yang lalu, ketika telah dibangun jalan raya dari Natal ke Sengkuang, ibu kota Kecamatan Batang Gadis.

Kedua, Desa Tabuyung yang berpenduduk 7.000 orang, baru 13 orang anak yang kuliah di perguruan tinggi.

Ketiga, penduduk meminta yang paling mendesak adalah kebutuhan akan air bersih, karena semua sumur menjadi payau akibat kontaminasi dari ombak tsunami yang hitam legam.

Keempat, relokasi desa ternyata tidak semudah di atas kertas, karena ternyata sulit mencari tanah meskipun cuma 50 hektar, padahal masih banyak tanah yang terlantar tetapi sudah dikuasai oleh orang-orang kota baik berupa HPH, HTI, HGU, dan macam-macam hak yang lainnya.

Kelima, penduduk desa menyambut kami dengan penuh rasa curiga, karena mereka sudah terlalu sering dibohongi. Banyak yang datang dengan dalih mau menolong tetapi kenyataanya malah menyolong.

Pada waktu itu kita sepakati, yaitu mengatasi keperluan akan air bersih dulu, setelah itu secara bertahap diusahakan untuk hal-hal lain yang serba mudah untuk direalisasikan. Kami pulang ke Jakarta pada tanggal 28 Maret 2005, melalui Medan dengan pesawat Garuda jam 20.00. Ketika jam 01.00 pagi tanggal 29 Maret 2005 saya masih bekerja menulis makalah untuk mengisi harian Sinar Harapan, anak saya yang kebetulan lagi berada di Detroit menelepon dan menyampaikan bahwa menurut televisi FOX ada gempa di Sumatera, dan tempat gempanya di Pulau Nias. Kemudian hal ini oleh Doli D. Siregar keadaaan di kedua desa kami itu dicek, dan ternyata 80 persen dari rumah penduduk telah pupus disapu ombak. Saya menangis, alangkah malangnya nasib sahabat kami di kedua desa itu, bantuan kami belum diterima, mereka sudah tertimpa bencana alam lagi.

Dua Ancaman

Kedua desa ini sangat rentan terhadap dua ancaman, dan begitulah nasibnya untuk desa-desa lain sepanjang pantai Barat pulau Sumatera. Adapun ancaman pertama ialah ancaman terhadap bahaya ombak-/tsunami yang dapat terjadi kapan saja (natural disaster threat). Solusinya desa mereka harus di relokasi ke tempat yang lebih tinggi, yakni paling sedikit 3 meter di atas permukaan laut. Sedangkan ancaman yang kedua adalah ancaman ekonomi (economic threat). Penduduk desa ini setiap hari semakin miskin.

Dalam hal Desa Tabuyung, mereka menyatakan bahwa mereka sudah mengirim surat cerai talak tiga kepada laut. Kenapa begitu? Menurut mereka, perahu mereka maksimum cuma 5,5 ton, dan hanya bisa melaut beberapa mil saja dari pantai. Di lautan lepas, beroperasi nelayan Thailand, nelayan Taiwan, nelayan RRC, dan nelayan Jepang yang kapalnya paling kecil 500 dwt. Mereka, penduduk kedua desa itu hanya bisa melaut paling banyak 6 bulan dalam setahun, dan ikannya semakin pupus. Jika mereka ingin berkebun, tanahnya juga sudah habis. Boro-boro mau berkebun, mencari tanah untuk merelokasi desa pun sudah susah.Bagaimana masa depan mereka? Kelihatannya sangat menyedihkan. Mereka ini akan pupus baik karena ancaman alam (ombak/tsunami) ataupun karena ancaman ekonomi. Yang tinggal di desa berpotensi menjadi pencuri untuk buah sawit di pekebunan sekitar desa. Jika ada orang yang ekstrim, bisa-bisa mereka ini menjadi dan terprosok sebagai teroris. Yang pergi ke kota (urbanisasi) bisa-bisa menjadi pengemis, pencopet, dan maaf, penodong.

Apa yang Harus Diperbuat?

Desa-desa seperti ini tersebar sepanjang pantai di Indonesia yang rentan terhadap tsunami. Pemerintah perlu merelokasi desa-desa ini ke tempat yang lebih tinggi. Tidak perlu malu untuk meminta bantuan donor internasional, terlebih lagi ke Amerika Serikat yang sangat konsen terhadap terorisme supaya disapu habis dari jagat raya.Lebih jauh, kepada setiap kepala keluarga yang ada di desa-desa ini diberikan tanah untuk hidup, paling sedikit 2 hektare per keluarga. Mereka bisa hidup dari kehutanan, perkebunan, pertanian, dsb. Pengalaman di dunia membuktikan bahwa negara itu menjadi kaya, apabila rakyatnya dikayakan, yaitu dengan memberi tanah. Inilah yang terjadi di Amerika Serikat, Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Malaysia, Thailand dan sekarang RRC. Tanah diutamakan untuk rakyat bukan untuk negara (seperti di Indonesia?) Apabila rakyat sudah kaya pada giliran mereka menjadi pandai dan elegan. Semogalah.

Penulis adalah pengamat ekonomi dan mantan Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI)

http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/Keuangan/2005/0425/keu3.html