Saturday, July 7, 2007

Guru Dengan Bayaran Seadanya



Guru dengan Bayaran Seadanya
Oleh: AHMAD ARIF

Raja Dima Siregar (37) hanya petani dari desa. Namun, bagi warga Dusun Sigoring-goring, Desa Pangirkiran Dolok, Kecamatan Barumun Tengah, Tapanuli Selatan, dia adalah pahlawan.

Pahlawan, karena dia menjadi guru bagi anak-anak dusun dari kelas I hingga kelas VI hanya dengan bayaran 80 kaleng beras per tahun satu kaleng beras setara dengan 16 kilogram. Selain itu, dia juga guru mengaji tanpa imbalan. Saya melakukan ini karena merasa harus melakukannya. Saat itu anak- anak tidak sekolah selama tiga bulan karena tidak ada guru, saya tidak tega melihatnya, kata Raja Dima.

Sudah delapan bulan ini dia menjadi satu-satunya guru di SD Dusun Sigoring-goring. Semua pelajaran dari kelas I hingga kelas VI diborongnya. Guru sebelumnya mengundurkan diri pada Oktober 2004 sehingga selama tiga bulan kegiatan belajar-mengajar di sekolah yang dibangun secara swadaya sejak tahun 1982 itu sempat terhenti. Sebenarnya sulit mengajar sekaligus enam kelas, tetapi warga tidak akan mampu membayar dua guru. Membayar satu guru saja kesulitan, ujarnya.

Lelaki empat putra ini bukan orang berpunya. Ia petani penggarap dengan lahan yang hanya menghasilkan 100 kaleng beras sekali panen, yang seperlimanya diberikan kepada pemilik sawah. Sejak dia menjadi guru, istrinya menjadi tulang punggung yang mengerjakan sawah garapan. Sepulang mengajar, Raja Dima menemani istrinya di sawah.
Rumahnya sangat sederhana. Di rumah panggung dari papan kayu itu hanya terdapat dapur dan ruang serba guna yang menjadi tempat tidur, makan, dan menerima tamu. Tak ada kasur, hanya tikar dari rotan yang digelar saat ada tamu atau ketika ada anak-anak mengaji. Hewan ternak yang dimiliki keluarganya berupa dua ayam kampung yang kini beranak 15 ekor.

SD Sigoring-goring berada di pedalaman, diapit hutan register 40 Tapsel, perkebunan sawit milik PT PN II dan sejumlah perusahaan sawit swasta, serta hutan tanaman produksi yang dikelola PT Raja Garuda Mas, rekanan PT Toba Pulp Lestari. Dusun itu dihuni 40 keluarga atau 285 jiwa, terpencil dari dusun lain, tak terjangkau listrik, apalagi telekomunikasi.

Tergilas balok

Setamat dari madrasah aliyah di Binanga tahun 1988, Raja Dima merantau ke Pekanbaru untuk mencari kerja. Namun, ijazahnya tak laku sehingga setelah satu bulan terlunta-lunta di perantauan, Raja Dima akhirnya menerima pekerjaan sebagai salah satu pengangkut kayu dari perusahaan pembalakan liar. ”Saya harus menyeret balok kayu dari hutan. Terkadang diameternya satu meter dan panjang empat meter. Satu hari bisa mengangkut paling banyak tiga kubik kayu, dengan bayaran Rp 13.000 per kubik yang dibagi delapan orang, sejumlah anggota kelompok saya,” katanya.

Memasuki bulan ketiga, kaki kiri Raja Dima hancur karena tergilas balok. Selama dua tahun, Raja Dima mendapat perawatan di salah satu rumah sakit di Padang, Sumatera Barat. Pengalaman itu menyadarkan Raja Dima bahwa hidup jangan merusak alam dan harus berguna bagi orang lain.

Sepulang dari perawatan, Raja Dima menetap di dusun sebagai petani. Pen baja yang ditanam di kakinya hingga kini menjadi penyangga tubuhnya yang terbebani kerja keras. Sesekali, Raja Dima juga ke hutan mencari rotan atau berburu ayam hutan.
Setahun kemudian Raja Dima menikahi Kholimah Hasibuan, gadis tetangga desa. Hari-hari dilalui keluarga Raja Dima dengan ke sawah, ke hutan sesekali, dan ke pasar tiap pekan. Hingga kemudian, pada tahun 1995, ayahnya yang menjadi guru mengaji meninggal dunia. Anak keempat dari lima bersaudara ini diberi amanat untuk meneruskan mengajar anak-anak membaca Al Quran.

Sejak itu, kegiatan Raja Dima bertambah. Ia pun kian dekat dengan jiwa anak-anak yang meramaikan rumahnya tiap malam. Maka, ketika guru sekolah satu- satunya di dusunnya mengundurkan diri, Raja Dima menerima tawaran menjadi guru. Saya akan jadi guru selama masyarakat masih menginginkan saya, ujarnya.

Bagi murid-muridnya dan orangtua murid, Raja Dima dikenal sebagai guru yang penyabar. Dia bisa mendidik anak dengan sabar. Dan yang penting, dia mau jadi guru dengan bayaran seadanya, kata Amsal Rambe, orangtua murid.

Ia menjadi guru di tengah wilayah yang terus didesak untuk perluasan perkebunan kelapa sawit. Katanya, tanaman karet warisan orangtuanya di tanah adat Desa Pangirkiran Dolok sebanyak 200 pohon musnah dibakar oleh perusahaan perkebunan nasional yang hendak memperluas kebun sawit di kawasan itu. Dalam pembakaran itu, 20 rumah warga Dusun Sibenggol dusun terdekat dengan Sigoring-goring—ikut dibakar. Masa depan suram anak-anaknya menggelisahkannya.

http://kompas.com/kompas-cetak/0507/29/Sosok/1922875.htm

No comments: