Saturday, July 7, 2007

Kisah Guru Desa, Kisah tentang Kepahlawanan

Dalam perjalananku menuju Mandailing, pada tanggal 7-8 Mei 2005 aku "tersesat" di sebuah dusun di pinggir hutan register 40, Tapanuli Selatan. Semalam aku menginap di dusun itu, dan aku diharu-biru oleh kisah sedih yang berkelindan dengan kepahlawan. Di daerah yang harus ditempuh sekitar 16 jam dari Medan itu, aku melihat dusun-dusun yang dibakar oleh perusahaan perkebunan swasta nasional. Tanah milik adat dikuasai dan warga diusir. Namun, di sana aku juga bertemu dengan Raja Dima Siregar, pahlawan dusun yang menjadi satu-satunya guru sekolah dasar di dusun tersebut. Dia hanya dibayar 80 kaleng beras sekali setahun. ..Saat hendak menulis tentang perjalanku kali ini di Kompas, aku dihadapkan pada dua hal:1)tentang kisah kepahlawanan (juga penderitaan) Raja Dima dan anak-anak desa; atau 2) tentang penindasan yang dilakukan oleh perusahaan sawit tersebut, yang berarti akan berhadapan langsung dengan pengusaha dan kroninya. Akhirnya, aku memilih menulis tentang kepahlawanan...(lain kali, aku ceritakan alasan kenapa aku memilih menulis dengan angle ini) ...Sebagian foto dan tulisan telah dimuat di Kompas hal 1,16 Mei 2005..


BAYARAN GURU DESA 80 KALENG BERAS...

SUDAH enam bulan ini Raja Dima Siregar (37) mengajar lima kelas di SD Dusun Sigoring-goring tanpa gaji. Lelaki itu hanya dijanjikan akan mendapat bayaran beras sebanyak 80 kaleng (satu kaleng sekitar 16 kg) atau setara dengan 1.280 kg per tahun oleh para orangtua murid pada akhir tahun ajaran nanti.

MESKI demikian, satu-satunya guru di SD Dusun Sigoring-goring, Desa Pangirkiran Dolok, Kecamatan Binanga, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, itu tak mengeluh dengan apa yang ia dapatkan. Yang ia gelisahkan justru nasib anak-anak didiknya yang belajar dengan buku pelajaran kedaluwarsa. Hingga kini murid-murid SD Dusun Sigoring-goring harus belajar dengan menggunakan buku-buku pelajaran kejar paket A, B, dan C terbitan tahun 1997, yang sebenarnya ditujukan untuk ujian persamaan.

Fasilitas SD satu-satunya di dusun itu sangat minim. SD tersebut hanya memiliki satu ruang kelas sehingga seluruh siswa mulai dari kelas 1 hingga kelas VI, bercampur dan gurunya hanya seorang. Menurut Raja Dima, sekolah itu dibangun secara swadaya oleh masyarakat pada tahun 1982. Sejak dibangun, belum ada bantuan sedikit pun dari pemerintah.

Tahun ini SD yang berada di tepi hutan eukaliptus milik Toba Pulp Lestari itu hanya memiliki 27 siswa, yaitu kelas I sebanyak sembilan siswa, kelas II delapan siswa, kelas III tujuh siswa, kelas IV satu siswa, dan kelas VI dua siswa. Kelas V tidak ada siswanya. "Semakin tinggi kelasnya, siswanya makin sedikit karena banyak yang putus di tengah jalan. Anak-anak membantu orangtuanya bekerja sehingga jika dirasa sudah cukup bisa membaca, menulis, dan berhitung, mereka tidak pergi ke sekolah lagi," katanya.

Dusun Sigoring-goring berada jauh di pedalaman Sumatera Utara, diapit hutan register 40 Tapanuli Selatan dan hutan tanaman produksi milik PT Toba Pulp Lestari (TPL). Dusun itu dihuni 40 keluarga atau 285 jiwa, terpencil dari dusun lain, dan tak terjangkau listrik, apalagi telekomunikasi. Untuk mencapai kota Kecamatan Binanga sedikitnya perlu 14 jam perjalanan darat dari Medan atau sekitar empat jam dari ibu kota Kabupaten Tapanuli Selatan, Padang Sidempuan. Dari Binanga ke desa itu, perjalanan menembus belantara sejauh 22 kilometer. Hanya mobil-mobil gardan ganda pengangkut kayu yang sanggup melintasi jalan lumpur menuju dusun tersebut.

***

MINGGU siang siswa SD Sigoring-goring tetap masuk sekolah. Mereka libur pada hari Kamis bersamaan dengan pekan di kota Binanga. Saat hari pekan, orangtua termasuk Raja Dima bisanya pergi ke kota untuk menjual hasil pertanian dan membeli barang kebutuhan selama seminggu.

Siang itu para siswa yang berseragam coklat bercampur dengan yang berseragam merah putih dan sebagian lainnya yang tidak berseragam. Hampir semua anak tidak memakai alas kaki, sedangkan Raja Dima hanya mengenakan sandal jepit.

Tak seorang siswa pun yang memiliki buku-buku pelajaran. Mereka hanya mengandalkan keterangan dari guru yang menggunakan materi pelajaran dari buku-buku yang sudah kedaluwarsa tersebut. Kendati demikian, anak-anak itu mencatat pelajaran di buku tulis mereka dengan semangat.

Bocah-bocah dusun tersebut belajar di dalam bangunan tunggal sekolah dari papan yang dibagi menjadi dua ruangan dan dibatasi sekat papan semiterbuka. Terdapat dua papan tulis yang dipakai secara bersama-sama oleh lima kelas.

Setelah menuliskan pelajaran untuk kelas I, Raja Dima kemudian menghapusnya dan ganti menuliskan bahan pelajaran untuk kelas II, demikian seterusnya. Raja Dima juga harus hilir mudik menerangkan pelajaran yang ditulisnya di dua papan tulis tersebut.

"Sekarang pertanyaan untuk kelas III, orang yang pekerjaannya mencari ikan di laut apa?" kata Raja Dima. Suasana hening. Tak seorang siswa pun menjawab.

Pertanyaan yang mungkin akan dijawab dengan mudah oleh anak-anak SD kelas I di kota itu terasa sulit bagi anak-anak dusun.

Raja Dima harus menjawab sendiri pertanyaannya. Dengan sabar ia menerangkan, ada dunia di luar sana yang digeluti oleh nelayan."Nelayan ini harus bekerja keras untuk hidup, sepertibapak-bapak kalian yang menjadi petani. Bedanya, kalau petani bekerja di ladang dengan parang dan cangkul, nelayan bekerja di laut dengan jala dan pancing," katanya.

Raja Dima menjadi guru di sekolah tersebut sejak bulan Desember 2004. Guru sebelumnya mengundurkan diri pada bulan Oktober 2004 sehingga selama tiga bulan kegiatan belajar-mengajar di SD tersebut sempat terhenti. "Karena tidak ada yang mau mengajar, saya kasihan kepada anak-anak. Apalagi banyak orangtua murid berharap saya bisa mengajar anak-anak itu. Akhirnya saya jadi guru mereka," kata lelaki lulusan madrasah aliah negeri (MAN) di Gunung Tua, Tapanuli Selatan.

"Di sini guru dibayar dengan beras sebanyak 80 kaleng setahun. Jelas bayaran tersebut tidak memadai sehingga kebanyakan tidak tahan. Tetapi, saya tidak bisa menuntut bayaran lebih karena memang masyarakat di sini juga tidak mampu. Toh dua anak saya juga ikut sekolah di sini," kata lelaki yang juga alumni SD Sigoring-goring itu.

Untuk menutupi kebutuhan hidupnya, Raja Dima lebih mengandalkan kerja kerasnya sebagai petani. Lelaki muda berputra tiga ini menggarap sawah sekitar 2.500 meter persegi yang menghasilkan beras sebanyak 100 kaleng. Beras sejumlah itu biasanya cukup untuk makan sehari-hari dan sisanya dijual untuk biaya hidup. Semenjak dia menjadi guru, pengelolaan sawah lebih banyak dilakukan istrinya.

Untuk kebutuhan sehari-hari, Raja Dima dan warga desa yang lain mengandalkan hasil tanaman karet yang ditanam di tanah adat Desa Pangirkiran. Rata-rata per orang memiliki dua hektar yang ditanami 200 pohon.

Namun, semenjak enam bulan lalu ladang karet warga Desa Pangirkiran, termasuk milik warga Sigoring-goring, musnah dibakar bersamaan dengan pembakaran oleh perusahaan perkebunan nasional yang hendak membuka kebun sawit di kawasan tersebut.

Dalam pembakaran itu, 17 rumah warga Sibenggol serta satu sekolah dan mushala ikut dibakar. Kini warga Sibenggol mengungsi ke dusun-dusun lain di Desa Pangirkiran, termasuk di Dusun Sigoring-goring. Raja Dima dan warga desa lain yang terdiri dari enam dusun sempat melawan perusahaan tersebut. Namun, mereka kalah. Saat ini Dusun Sibenggol dan bekas ladang mereka telah dikelilingi parit oleh perusahaan tersebut. Tak seorang warga dusun pun yang berani ke sana karena tanah tersebut dijaga para centeng yang bersenjata.

"Kami miskin. Dan orang miskin dalam cerita negeri ini selalu kalah," kata Raja Dima. Ia mengaku sempat memimpin perlawanan dengan melakukan demonstrasi ke kabupaten. Bukti perlawanan itu, yaitu berupa bait-bait puisi Darah Juang karya Wiji Thukul, masih ditempel di dinding kelasnya.

"Di sini negeri kami, tempat padi terhampar, samuderanya kaya raya, tanah kami subur Tuhan. Di negeri kami ini berjuta anak rakyat tertindas duka, anak tani tak sekolah, pemuda tak bekerja...Puisi-puisi ini sepertinya mewakili suara kami. Saya mendapatkannya dari teman-teman dari Bina Keterampilan Desa yang mendampingi warga di sini. Biarlah puisi ini tertempel di kelas ini agar terus dibaca anak-anak kami sebagai bukti perlawanan orangtua mereka," kata Raja Dima.

Kini harapan Raja Dima memang kian pupus. Bayang-bayang kekalahan tak terelakkan. Masa depan suram anak-anak didiknya, termasuk anak-anaknya, menggelisahkannya tiap hari. "Entah mau jadi apa anak-anak nantinya? Tanah-tanah terus direbut bahkan rumah dan kebun dibakar habis. Tetapi, siapa juga yang peduli?" kata Raja Dima, seolah bicara pada dirinya sendiri. (AHMAD ARIF)

http://ayiek.multiply.com/journal/item/2