Wednesday, July 25, 2007

Can Forests Protect Us From Floods?


Foto Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatra Utara

February 9th, 2006 / Opinion / Can forests protect people from disaster?
Source: The Jakarta Post, Didy Wurjanto, Jakarta

Foresters and environment groups have frequently blamed deforestation, especially that due to logging operations, as the root cause of the recent floods and landslides on Java that have claimed hundreds of lives and incurred huge infrastructure losses. There is a widespread belief that forests can prevent floods by acting as giant sponges, slowing down the surface runoff and soaking up water during heavy rainfall.

However, certain scientists have presented new findings that claim there is no scientific evidence linking large scale flooding and landslides to deforestation (The Jakarta Post, Jan. 6, 2006 )

Although the causes of the tragedies are still under investigation, pro and contra have been debating on whether the disappearing forests have led to the natural disasters in Jember, East Jawa , that killed at 119 people, and Banjarnegara, Central Jawa , that recently took the lives of at least 149 people.

The proponents of the argument that deforestation leads to floods and landslides say that forests are necessary to regulate stream flows and reduce runoff. Reducing forests usually results in increased runoff. Further, they argue that degraded highland forested areas make a significant contribution to the creation of small natural dams as the soil has been compacted and loses its porosity to absorb water from rainfall.

A recent study conducted by FAO and CIFOR (2005), Forests and Floods: Drowning in Fiction or Thriving on Facts?, argued that existing knowledge of deforestation leading to floods and landslide disasters is frequently based more on perceived wisdom than on science. In the rush to identify the causes of the disasters, the study revealed that the assumptions were made simply based on observations from other regions, which often have quite different environmental characteristics, or by extrapolating from small to large scale.

According to this study, forests only have a limited influence on major downstream flooding, especially large-scale events. Forests indeed are capable of reducing runoff as the result of enhanced infiltration. But this is only true for small-scale rainfall events. During a heavy rainfall events, like those that resulted in massive flooding in Jember and Banjarnegara, especially after prolonged periods of preceding rainfall, the forest soil becomes saturated and water no longer infiltrates into the soil but instead runs off along the surface.

Hydrology experts say that within watershed systems, flooding is the natural way to discharge water arising from heavy rainfall. There was no problem with flooding until people decided to use natural flood plains for their own use. This situation forces us to face the fact that people have chosen to live and work in these flood plains.

The key to minimizing potential future disasters is not by abruptly relocating people already living within the watersheds. However, it is vital that fragile areas be identified, classified and protected from inappropriate use, whether this be forestry, agriculture or mining. Nonetheless, even the best plans will not be effective if it is not implemented or facilitated by supportive policies.

Effective watershed management is an iterative process of assessing, planning, restoring and organizing land and resource use within a watershed to provide desired goods and services while maintaining and supporting livelihoods. This process provides an opportunity for stakeholders to balance different goals and resource uses and to consider how the development may affect long-term sustainability of natural resources. Mining and physical infrastructure such as roads can affect local hydrology far more than agricultural practices.

In this autonomy era, several local governments have undertaken preventive measures to protect their people and their infrastructure from similar tragedies. They have launched the concept of Kabupaten Konservasi (conservation regency) by managing the nearby watersheds in the form of conservation area management. The idea is not only to care for the watersheds but also the forest cover.

Amru Daulay, the regent of Mandailing Natal, North Sumatra , led his people to establish the 108,000-hectare Batang Gadis National Park in 2004, which accounts for 26 percent of the forest areas in the regency. The natural park became the center of the surrounding six sub watersheds contributing to the total economic value of more than Rp 160 billion (US$17 million) per year through domestic water, agriculture, fisheries and other environmental services (Conservation International 2006).

The park is responsible for supplying clean water to 13 districts within the regency. Its dense forests are home to very important wildlife including Sumatran tigers, which are now very rare in other parts of North Sumatra . Embedded in the concept of national park management is the recognition of the harmonized interrelationship of many different activities, such as fisheries, urban development, agriculture, forestry, recreation, conservation and other human influences.

Working with other stakeholders the government is striving to find a break-through in creating incentives for those who have an interest in keeping the park functioning.

The writer is an employee of Conservation International Indonesia . He can be reached at dwurjanto@conservation.org.

Banjir di Mandailing Natal


Natal digenangi air
Foto Arbain Rambey

24/07/2007 16:14 WIB
Banjir di Mandailing Natal, 4,300 Jiwa Mengungsi

Medan – Banjir yang bersumber dari luapan air sungai melanda lima kecamatan di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara (Sumut). Tidak ada korban jiw sejauh ini, namun tak kurang dari 4,300 jiwa terpaksa mengungsi ke tempat yang lebih aman.

Ketiga sungai yang meluap itu, masing-masing Aek Bangko, Aek Batang Natal, dan Aek Batahan. Akibatnya rumah penduduk yang berada di lima kecamatan yang dilintasi sungai tersebut ikut terendam air. Masing-masing di Kecamatan Muara Batang Gadis, Natal, Kecamatan Sinunukan, Batahan dan Ranto Baek. Pada beberapa titik, ketinggian air mencapai dua meter.

Penduduk yang mengungsi berjumlah sekitar 4,300 jiwa dari 888 keluarga. Saat ini mereka bertahan di Pasar Sinunukan, Bukit Godang, Kecamatan Batahan di kabupaten yang sama.

“Kami sudah mengistruksikan camat untuk segera melakukan penagangan. Agar masyarakat segera mendapatkan bantuan sembako maupun kesehatan,” kata Bupati Mandailing Natal Amru Helmy Daulay kepada wartawan, Selasa (24/7/2007) di Mandailing Natal, sekitar 480 kilometer dari Medan.

Luapan air sungai juga menyebabkan sejumlah jembatan penghubung di kabupaten itu rusak dan hanyut. Di Kecamatan Sinunukan dan Batahan masing-masing satu jembatan. Sementara jembatan Pasar Natal di Kecamatan Natal yang baru dibangun juga ikut hanyut.

Di beberapa titik jalan lainnya juga terdapat longsoran tanah dari perbukitan. Akibatnya, jalur transportasi Kecamatan Natal menuju Panyabungan, ibukota Mandailing Natal, terputus total. Kendala transportasi ini juga menghambat efektivitas pendistribusian bantuan kepada warga. (rul/asy)

http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/07/tgl/24/time/161412/idnews/808853/idkanal/10


Ribuan Warga Mandailing Natal Mengungsi Karena Banjir
Selasa, 24 Juli 2007 | 19:35 WIB

TEMPO Interaktif, Medan: Ribuan masyarakat dari Kecamatan Batu Sondet, Bapahan,Patiluban Ilir, Luban Mudik, Natal, Muara Batang Gadis, dan Sinunukan di Kabupaten Mandailing Natal mengungsi karena banjir pada Selasa (24/7).

Banjir yang menggenangi perumahan warga disebabkan meluapnya sungai Aek Batang Natal, Aek Bangko dan Aek Bantahan. Sebagian besar warga mengungsi ke Pasar Sinunukan, Bukit Godang dan Bantahan.

Khairul, seorang warga Panyabungan mengatakan, banjir yang mengenai sejumlah wilayah ini karena hujan turun terus menerus selama dua hari. "Hujan turun selama dua hari terus menerus," katanya.

Namun, banjir di kawasan Batu Sondet diduga karena penebangan hutan untuk perluasan perkebunan milik perusahaan perkebunan milik negara. Menurut Khairul, setiap hari kayu yang ditebang dari wilayah ini. Hambali Batubara
http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/sumatera/2007/07/24/brk,20070724-104299,id.html

Kerugian Bencana Mandailing Natal dan Langkat Rp 108 Miliar
Selasa, 16 Januari 2007 | 11:37 WIB

TEMPO Interaktif, Medan:Pemerintah Provinsi Sumatera Utara menghitung kerugian bencana gempa dan longsor di Kabupaten Mandailing Natal dan banjir di Kabupeten Langkat mencapai Rp 108 miliar.

Kerugian materi itu akibat rusaknya sejumlah nfrastruktur jalan sepanjang dua kilometer, jalan negara empat kilometer serta jembatan. Adapun rumah yang rusak berat sebanyak 554 unit dan rusak ringan 467 unit.

Adapun bangunan sekolah rusak berat tujuh unit dan 11 lainnya rusak ringan. Korban tewas akibat gempa disusul longsor di Mandailing Natal 33 orang dan 2.988 jiwa hingga saat masih mengungsi.

Sedangkan banjir di Langkat kerugiannya mencapai Rp 70 miliar. Banjir bandang itu merusak lahan persawahan seluas 14.379 hektare, 5.149 unit rumah rusak parah, empat jembatan ambruk serta 1.110 hektare tanaman hortikultura rusak. Banjir yang melanda 15 kecamatan, akhir tahun lalu itu menelan korban jiwa 17 orang.

"Pemerintah Sumatera Utara menargetkan rehabilitasi dan rekonstruksi kedua kebupaten itu selesai dalam tiga bulan," juru bicara Pemerintah Provinsi Sumatera Utara Maringan Lumban Tobing kepada Tempo hari ini.

Sahat Simatupang
http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/sumatera/2007/01/16/brk,20070116-91346,id.html

Saturday, July 21, 2007

Teluk Intan, A Perak Town Named After A Mandailing Woman


The old police station where Teluk Mak Intan was founded.
Pic by Khoo Salma Nasution

Teluk Intan, A Perak Town Named After A Mandailing Woman
By Abdur-Razzaq Lubis

Teluk Intan is a moderate sized town in the state of Perak, Malaysia. With an estimated population of around 110,000, Teluk Itan is the largest town in the district of Lower Perak and third largest in the state of Perak.

The town was founded on the bank of the Perak River. The river forms an omega-shaped oxbow, and the town is built in the loop of the oxbow. During high-tide, some parts of the town tends to flood even though there are watergates and protective banks.

Historically, it was known as Teluk Mak Intan (Mak Intan’s Bay) or Pekan Mak Intan (Mak Intan’s Town), taking its name from a noble and wealthy Mandailing woman, in which case, she would have been a family member of the Namora-Natoras (The Noble [and] The Elders), the Mandailing elite.

In view of her social and financial standing, it is plausible that she would have been the patron of the traders at Teluk Mak Intan. The existence of Teluk Mak Intan has been recorded since the late 19th century. Oral tradition has it that Teluk Mak Intan was established after Batak Rabit and Durian Sebatang. The original site of Teluk Mak Intan is the old police station (Balai Polis) and its vicinity.

As for the origin of the name Teluk Mak Intan, oral history narrates an incident in which Mak Intan was swimming and frolicking with her friends and attendants at a bay on the lower reaches of the Perak River, when her diamond studded hair pin, a gift from her parents, which held her bun together, fell into the river and was never recovered. Over time, when recalling the incident, people referred to the place where she dropped her hair pin as Teluk Mak Intan.

Compared to Durian Sebatang or Batak Rabit on the banks of the Perak river, Teluk Mak Intan was then free of floods, its bank secure and the bay deep, making it a suitable river port and commercial centre. On top of that, its hinterland was fertile for tubers, corn, bananas and the likes.

Therefore it comes as no surprise that it was also known as Pekan Mak Intan as it was a staging point for sojourners and traders from the Indonesian archipelago and other parts of the globe, who wanted to trade with the interior of Perak.

Traders from Kampar brought black cloth, shrimp paste (belacan), white silk, batik (kain rawa), tobacco, palm thatch (attap nipah) and salted or pickled fish (ikan peda,ikan pekasam) for sale. On their return journey they carried tin.

Sumatran sojourners and traders from Batak, Batu Bara, Kampar, Kerinci, Mandailing dan Selayang ethnic groups as well as Bugis seamen from the island of Sulawesi (Celebes), would go upstream to Batu Gajah in the Kinta Valley, in the interior of Perak state, through the port of Teluk Mak Intan.

“Mereka datang menaiki sampan atau sekoci, perahu dan lading melalui muara Sungai Perak menuju terus ke sungai Kinta membawa barangan keperluan pelombong [penambang] dan penduduk kampung. Perjalanan dari Teluk Anson (Teluk Intan) ke Batu Gajah [pemukiman di Lembah Kinta] biasanya memakan masa empat hingga lima hari.”

(They came in sampan or sekoci, perahu or lading through the estuary of the Perak river, heading straight to the Kinta river carrying with them the provisions for miners and villagers. The journey from Teluk Intan to Batu Gajah usually takes between four to five days.”

During British colonial rule, the third British Resident to Perak, Hugh Low, proposed,

“a plan of such a town as might be built in Teluk Malunting. [Teluk Mak Intan]. I [Hugh Low] would then propose that all the Chinese who have built on the point at During Sebatang should be bound to remove to the more favourable place… I would insist on this. The Customs house, the court house, landing jetty and chief police station should be put there at once. I will send the plan and write on the subject to Singapore as soon as I can…”

The superior geographical location of Teluk Mak Intan compared to other locations in Lower Perak made it a suitable candidate for a new administrative centre in the district. Hugh Low's proposal was enthusiastically received by the acting Governor of the Straits Settlements (at the time the Federated Malay States has yet to be instituted), Col. Archibald Anson (1879-1880), the latter even drew the first plans for the town.

Accordingly, in a State Council meeting of 15 March 1882, Hugh Low recommended that,

“…the new Settlement at Telok Ma’ Hitam [Teluk Mak Intan]… be known as ‘Telok Anson’, in compliment to General Anson, who drew the first plan of the town and took great interest in its removal from Durian Sebatang. The name Telok Ma’ Hitam has also been found inconveniently long.”

The recommendation was unanimously accepted by the Council, which officially changed the name of Telok Mak Intan to Telok Anson (literally, Anson’s Bay), or in Chinese 安顺 (Pinyin: Ānshùn).

During its centenary celebrations in 1982, the Sultan of Perak partially reverted the name of the town to Teluk Intan, dropping the feminine Mak. Teluk Intan served as the major administrative and business settlement for smaller neighbouring towns such as Tapah, Bidor, Bagan Datoh and Hutan Melintang. The town has a number of colonial buildings and Chinese shophouses together with modern buildings and a few shopping complexes and educational institutions. Being the major town in Hilir Perak and nearby smaller townships, Teluk Intan attracts shoppers from the surrounding area. Shopping and food brings many people to Teluk Intan during the weekends.

The main economic activities in Lower Perak around Teluk Intan today are oil palm cultivation and palm oil production. Some of the big corporations owning plantations around Teluk Intan, are United Plantations (UP), Golden Hope Plantations, Sime Darby and Kumpulan Guthrie Berhad.

Teluk Intan, Perak Memperolehi Namanya Dari Seorang Wanita Mandailing


Menara Condong atau Jam Tinggi yang dibina pada tahun 1885 merupakan mercu tanda dan simbol Teluk Intan. Pembangunan menara itu diilhamkan oleh bangunan pagoda dari negeri Cina, telah didirikan oleh seorang pemborong bernama Choong Cheong @ Ah Cheong. Asalnya ia adalah sebuah tangki air sebagai persiapan untuk menghadapi musim kemarau dan buat bomba/setoker memadam api kebakaran.

Teluk Intan, Perak Memperolehi Namanya Dari Seorang Wanita Mandailing.
Oleh Abdur-Razzaq Lubis

Teluk Intan adalah sebuah kota/bandar sederhana yang terletak di negeri Perak, Malaysia. Dengan penduduk yang dianggarkan kira-kira 110,000 orang, ia merupakan kota yang terbesar di daerah Hilir Perak, dan yang ketiga besarnya di negeri Perak.

Kota Teluk Intan dibangunkan di tebing Sungai Perak. Sungai itu membentuk semacam galang kuk (oxbow) atau tasik ladam, dan kota itu didirikan pada gelung atau cecincin galang itu. Apabila air pasang, sebahagian kota itu banjir meskipun ada pintu air dan pembetongan.

Dari segi sejarah, Teluk Intan dikenali dengan nama Teluk Mak Intan atau Pekan Mak Intan, mengambil namanya dari seorang wanita bangsawan dan hartawan Mandailing. Ini bererti Mak Intan adalah anggota keluarga (Namora-Natoras, Yang Dimuliakan [dan] Yang Dituakan). Oleh yang demikian, boleh diterima akal bahawa Mak Intan menjadi penaung kelompok pedagang di Teluk Intan.

Keberadaan Teluk Mak Intan telah tercatat pada penghujung abad ke-19. Cerita lisan menuturkan bahawa Teluk Mak Intan menyusuli keberadaan Batak Rabit dan Durian Sebatang. Lokasi Teluk Mak Intan adalah di mana bangunan Balai Polis lama sekarang dan kawasan di sekitarnya.

Mengenai asal-usul nama Teluk Mak Intan, cerita lisan mengungkapkan bahawa pada suatu hari Mak Intan dengan beberapa kawan-kawannya sedang mandi-manda dan bersukaria di teluk Sungai Perak, dengan tidak semena-mena pacak intan pemberian orang tuanya, yang dipakai disanggulnya, terjatuh dan hilang di dalam sungai itu. Oleh kerana peristiwa itu disebut-sebut orang belakangan hari bahagian teluk di mana Mak Intan kehilangan pacak intanya sebagai Teluk Mak Intan.

Berbanding dengan Durian Sebatang atau Batak Rabit di tebing Sungai Perak, kedudukan Teluk Mak Intan, yang bebas dari ancaman banjir sementara tebing sungainya yang kuat dan air teluknya dalam, menjadikan Teluk Mak Intan sesuai dijadikan pengkalan sungai dan pusat perdagangan. Tambahan pula kawasan pendalamannya subur untuk tanaman ubi, jagung, pisang dan sebagainya.

Makanya tidak hairanlah mengapa ia juga dikenali sebagai Pekan Mak Intan kerana di sinilah tertumpunya perantau dan pedagang baik dari Nusantara mahupun dari tempat-tempat lain di dunia, yang mahu masuk ke pedalaman negeri Perak untuk memperolehi bijih timah khasnya.

Perantau dan pedagang Sumatra dari etnik Batak, Batu Bara, Kampar, Kerinci, Mandailing dan Selayang serta Bugis dari pulau Sulawesi, masuk ke mudik ke Batu Gajah di Lembah Kinta, di pendalaman Perak, melalui Teluk Mak Intan.

“Mereka datang menaiki sampan atau sekoci, perahu dan lading melalui muara Sungai Perak menuju teras ke sungai Kinta membawa barangan keperluan pelombong [penambang] dan penduduk kampung. Perjalanan dari Teluk Anson (Teluk Intan) ke Batu Gajah [pemukiman di Lembah Kinta] biasanya memakan masa empat hingga lima hari.”

Pada zaman pemerintahan kerajaan negeri Perak di bawah tajaan British, Residen British yang ketiga di negeri itu, Hugh Low, telah mengarahkan supaya

“a plan of such a town as might be built in Teluk Malunting. [Teluk Mak Intan]. I [Hugh Low] would then propose that all the Chinese who have built on the point at During Sebatang should be bound to remove to the more favourable place… I would insist on this. The Cusoms house, the court house, landing jetty and chief police station should be put there at once. I will send the plan and write on the subject to Singapore [di mana pejabat/kantor Gabenur British] as soon as I can…”

Jelaslah kelebihan geografi Teluk Mak Intan berbanding dengan lokasi lain di Hilir Perak untuk didirikan sebuah pusat pentadbiran/administratif baru di jajahan itu. Saranan Hugh Low itu bukan sahaja diterima baik oleh pemangku Gabenor Negeri-Negeri Selat (pada masa itu belum diwujudkan lagi Negeri-Negeri Melayu Bersekutu), Col. Archibald Anson (1879-1880), malah Gabenor itu telah melukis pelan untuk pusat pentadbiran tersebut.

Maka pada mesyuarat/rapat Majlis Negeri pada 15 Mac/Maret 1882, Hugh Low mengusulkan supaya

“…the new Settlement at Telok Ma’ Hitam [Teluk Mak Intan]… be known as ‘Telok Anson’, in compliment to General Anson, who drew the first plan of the town and took great interest in its removal from Durian Sebatang. The name Telok Ma’ Hitam has also been found inconveniently long.”

Dengan penerimaan usul itu oleh Majlis Mesyuarat Negeri Perak, nama Telok Mak Intan bertukar menjadi Telok Anson (Cina: 安顺; Pinyin: Ānshùn).

Seratus tahun kemudian pada perayaan ulang tahun keseratus kota Telok Intan pada 1982, Sultan Perak telah menukar kembali nama Telok Anson menjadi Telok Intan. Hari ini, Teluk Intan merupakan pusat administratif dan bisnes yang utama untuk pekan-pekan [pokan] kecil seperti Tapah, Bidor, Bagan Datoh dan Hutan Melintang. Pusat pentadbiran daerah Hilir Perak itu mempunyai beberapa buah bangunan kolonial dan rumah kedai/ruko Cina dengan bangunan modern and kompleks membeli-belah/daerah pertokoan/pusat berbelanja and institusi pendidikan. Kerana ia merupakan kota tersohor di Hilir Perak, Teluk Intan menarik pengunjung dan pembeli-belah dari kawasan seputarnya. Berbelanja dan menjamu selera mendatangkan banyak orang ke Teluk Intan pada hujung minggu.

Aktiviti ekonomi utama sekeliling Teluk Intan di Hilir Perak hari ini ialah perkebunan kelapa sawit dan pengeluaran minyak kelapa sawit. Perbadanan yang memiliki perkebunan-perkebunan besar di kawasan sekitar Teluk Intan termasuklah United Plantations (UP), Golden Hope Plantations, Sime Darby dan Kumpulan Guthrie Berhad.

Sunday, July 15, 2007

Dilarang Kelola TNBG Warga Hutabargot Berdemonstrasi


Perkebunan Rakyat
Foto Abdur-Razzaq Lubis

Dilarang Kelola TNBG Warga Hutabargot Berdemonstrasi
Mei 4th, 2007

PANYABUNGAN ( Berita ) : Sebanyak 50 orang perwakilan warga 13 Desa Kecamatan Hutabargot Kabupaten Mandailing Natal, Kamis (03/05) sekitar pukul 10.00 Wib mendatangi Gedung DPRD untuk mengadukan nasib mereka yang kehidupannya mulai terancam dan nyaris tidak mempunyai mata pencaharian disebabkan pihak pengelola Taman Nasional Batang Gadis ( TNBG ) mengadukan masyarakat ke Polisi agar tidak mengolah dan memanfaatkan tanah perkebunan daerah itu.

Selain itu, akibat terjadinya Kebakaran Hutan di wilayah itu sekitar 23 Maret 2007 lalu telah membuat masyarakat 13 Desa yang selama ini mengolah lahan perkebunan Trauma dan bahkan ada yang telah meninggalkan rumah dan keluarganya disebabkan sudah di panggilnya 20 orang warga yang di duga telah terlibat dalam pembakaran hutan di daerah itu.

Delegasi warga yang jumlah 50 orang masing-masing di Pimpin Kepala Desa dan didampingi Camat Hutabargot Adek Damanik .AP diterima langsung oleh Wakil Ketua DPRD Madina AS.Imran Khaitamy Daulay.SH, Ketua Komisi A Binsar Nasution.A.Md, Ketua Komisi B H.Saripada Hasan Lubis, dan beberapa anggota Dewan lainnya serta turut hadir dalam pertemuan/dialog itu Asisten I M.Gozali Pulungan.SH.MM, Kabag Bina Mitra AKP.Darwin Rangkuty dan Kapolsek Panyabungan AKP.A.Daulay.

Juru bicara warga Desa Bangun Sejati M.Yusri dalam penjelasannya mengaku masalah keberadaan TNBG sangat di dukung oleh masyarakat, tetapi hendaknya pihak TNBG membuat penjelasan yang jelas apakah wilayah yang telah di kelola oleh masyarakat termasuk wilayah TNBG, sebab sejak zaman dulu wilayah perkebunan yang di kelola oleh warga merupakan hak turun temurun dari keluarga masyarakat.

Sebab ujar M.Yusri dihadapan anggota DPRD, dari Balai TNBG, Dishut serta Polres Madina, selama ini tidak ada sosialisasi maupun penjelasan dari pihak TNBG sekalipun telah dikatakan ada sosialisasi, karena sampai sekarang batas wilayah TNBG yang jumlahnya 108.000 Ha tersebut baik patok maupun pengumuman atau apa saja tidak ada dan kenapa masyarakat diadukan ke polisi ketika membuka lahan untuk mata pencaharian warga.

Coba anda bayangkan, ujar m.Yusri, jika warga tidak bisa mengolah lahan perkebunan itu maka kehidupan warga terancam, sebab sejak beberapa tahun terahir ini tanaman padi tidak baik, makanya warga mencoba membuka usaha lain dengan membuka perkebunan untuk menambah mata pencaharian warga dan sekarang diadukan ke polisi dan sudah tentu masyarakat merasa takut dan trauma jadinya.

Kami sangat senang adanya TNBG dan masalah batas-batas wilayah kami tidak tau karena kami orang desa yang tidak pernah memahami hukum seperti penjelasan pihak Balai TNBG dan tolong kami diberikan tempat mencari nafkah, apakah kami di targetkan untuk hidup susah atau sengaja pemerintah membuat kami miskin, ujar M.Yusri,
Kepala Desa Mondan.

Yasri Nasution dalam pengaduannya ke DPRD, mengaku bahwa tanah perkebunan yang ada di wilayah Sidua-dua adalah merupakan Tanah Ulayat warga Hutabargot sekitarnya yang dijadikan perkebunan rakyat dan surat persutujuan bersama telah dibuat 6 Kepala Desa di saksikan oleh Camat Panyabungan Utara dan jika sekarang dibuat wilayah TNBG sebagai zona terlarang untuk masyarakat tentu kami tidak setuju.

Kenapa tanah kami sendiri yang kami oleh kami diadukan, makanya kami keberatan dan lagi pula kami buta hukum, jangan kehidupan kami di kekang dan kemana lagi mencari nafkah untuk menghidupi keluarga kami, ujar Kades Mondan Yasri Nasution.

Sementara itu Ketua Komisi A Binsar Nasution dan Samun Tanjung.SH dari Komisi B dalam keterangannya, menilai pihak Balai TNBG dan Dishut Madina maupun BPH telah melakukan kesalahan dalam masalah TNBG yang biayanya mencapai Rp 9 milyar beberapa waktu lalu, sebab buktinya sekarang ini masyarakat wilayah Hutabargot belum mengetahui tapal batas dari wilayah TNBG dan sudah tentu warga mengolah dan memanfaatkan tanah mereka sendiri yang sekarang di persoalkan oleh pihak TNBG.

Saya menduga ada permainan dalam pembuatan batas wilayah, Tapal Batas, patoknya yang dibuat BPH apa, apakah semen, batu atau kue, jangan-jangan dokumennya juga tidak ada hanya sebatas laporan saja dan kami harap pihak TNBG segera menyerahkan butki-bukti dari sosialisasi yang dibuat selama ini, ujar Binsar Nasution.A.Md dari Fraksi PBR dan yang Ketua DPC.PBR Madina itu.

Ungakapan yang sama juga disampaikan oleh anggota DPRD dari Fraksi Bersatu Drs.Razman Arif, Samun Tanjung, bahwa kejadian terhadap warga Hutabargot adalah merupakan kesalahan dari Dishut dan TNBG yang dinilai telah salah dalam melakukan pendataan batas- batas wilayah TNBG.

Kita sangat sepakat sekali kejadian yang telah membuat warga di panggil polisi segera dicari solusinya dengan melakukan pemberhentian pemeriksaan kepada warga, sebab sudah banyak warga yang Trauma dan pihak TNBG segera membuat Tim khusus untuk membuat batas maupun zona yang betul, ujar Drs.Razman Arif Nasution.

Sedangkan, pihak Balai TNBG Madina Sahgwan Siregar dan dari BPH Selamat Sembiring dan mewakili Dishut Madina Sardi dalam keterangannya, mengaku telah berkali-kali melakukan sosialisasi baik di wilayah Desa sekitar TNBG maupun di Madina Sejahtera dan juga dengan Pemuda/OKR yang telah dibentuk telah dilakukan sosialisasi.

Batas-batas wilayah sepanjang 80 KM Taman Nasional Batang Gadis telah dibuat beberapa wilayah dengan membuat batas yang melibatkan Kades, ulama dan tokoh masyarakat dan tentu pihak kita telah bekerja maksimal serta sebelumnya dibuat sosialisasi di desa, ujar BPH TNBG Selamat Sembiring dan Sardi dari Dishut Madina.
Mewakili Polres Madina Kabag Bina Mitra AKP Darwin Rangkuty dan Kapolsek Panyabungan A.Daulay, mengaku melakukan pemanggilan kepada warga adalah berdasarkan Pengaduan pihak TNBG atas terjadinya pembakaran hutan di wilayah Hutabargot sekitar 23 Maret 2007 yang lalu.

Kami memanggil dan memintai keterangan sekitar 20 orang warga dan belum ada yang ditahan sebab masih pemeriksaan atas pengaduan, kalau ada kesepakatan di DPRD untuk pemberhentian pemanggilan kami akan segera laporkan ke pimpinan kami dan juga sepakat untuk dilakukan musyawarah di DPRD, ujar Kapolsek Panyabungan AKP.A.Daulay.
Wakil Ketua DPRD Madina AS.Imran Khaitamy Daulay.SH dalam penjelasannya kepada wartawan di Kantornya, masalah antara warga Hutabargot sekitarnya dengan pihak TNBG serta Polisi telah di sepakati untuk sementara warga jangan dulu mengolah lahan perkebunan yang di ributkan dan pemanggilan warga juga di hentikan serta pihak TNG maupun Pemerintah segera membuat batas- batas zona TNBG.

Setelah adanya delegasi warga yang melakukan dialog di ruang paripurna dan dilanjutkan musyawarah di ruangan Pimpinan disepakati dilakukan musyawarah mupakat untuk kebaikan bersama, sebab TNBG juga adalah milik Nasional yang telah diakui dan perlu kita jaga kelestariannya, ujar Wakil Ketua DPRD Madina AS.Imran Khaitamy Daulay.SH.

Kami Membutuhkan Biaya Hidup

Sedangkan, ketika terjadinya dialog antara Perwakilan warga, Polres, Balai TNBG, Dishut, DPRD dan Asisten I serta Camat Hutabargot di ruang rapat Pimpinan DPRD, sekitar tiga puluh orang warga 13 Desa yang mendatangi DPRD mengaku tetap akan melanjutkan pengolahan lahan perkebunan mereka, sebab warga membutuhkan biaya hidup.
Kami juga manusia yang ingin hidup lebih baik, ingin menyekolahkan anak, ingin makan seperti layaknya warga lain, kenapa kami tidak diperbolehkan untuk mengolah lahan yang merupakan milik nenek moyang kami dan kami memang buta hukum tapi jangan di bodoh-bodohi, ujar Mhd. Hafis Nasution dari Hutabargot.

Harapan kami, ujar Mhd.Hafis.Nasution, sekalipun asfirasi kami ini tidak bisa di bawak dalam pertemuan dengan DPRD, tapi kami sangat berkeyakinan dengan sikap Wartawan di Madina yang selalu membela rakyat kecil dan kami harapkan Harian Berita Sore dan wartawan lainnya ikut memperjuangkan hak-hak rakyat yang miskin ini.(sof)

http://beritasore.com/2007/05/04/dilarang-kelola-tnbg-warga-hutabargot-berdemonstrasi/

Saturday, July 14, 2007

Gordang Sambilan Semakin Langka?


Gordang Sambilan Tersimpan di Maga, Mandailing Julu
Foto Abdur-Razzaq Lubis

"Gordang Sambilan" Semakin Langka

Batam, Kompas
Selasa, 3 Juli 2001

Perkembangan musik tradisional Tapanuli Selatan, "Gordang Sambilan" (gendang sembilan), dari waktu ke waktu semakin langka dipertunjukkan di tengah-tengah masyarakat. "Gordang Sambilan" hanya dipertunjukkan ketika ada acara-acara besar, seperti pesta perkawinan adat, kedatangan tamu-tamu pejabat, peresmian kantor-kantor pemerintahan, atau acara-acara pelantikan perkumpulan adat.

"Tapi, pertunjukan 'Gordang Sambilan' sudah langka sekali. Hanya orang-orang tertentu saja yang mau mengadakannya," kata Hasyim Siregar (45), Pimpinan "Gordang Sambilan" Halongonan Napurpur, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, di Batam, Minggu (1/7). Pertunjukan "Gordang Sambilan" ini berkaitan dengan acara peresmian organisasi "Parsadaan Halongonan Napurpur" (Perkumpulan Persaudaraan-Red) Batam yang dipimpin Syafrizal Sitorus.

Pada acara itu antara lain hadir Asisten I Pemerintah Kota Batam Asyari Abbas. "Kami sengaja mengundang "Gordang Sambilan" untuk melestarikan kesenian tradisional Tapanuli Selatan sekaligus mengenang atau melepas rasa rindu akan kampung halaman," kata Sitorus.

Musik tradisional "Gordang Sambilan" adalah musik yang terdiri dari sembilan gendang, yang diiringi alat musik lain, seperti seruling, ogung (gong), dibantu gondang (gendang kecil). Pertunjukan "Gordang Sambilan" ini pada zaman Belanda dahulu sering dipertontonkan oleh raja-raja di Tapanuli Selatan dalam pesta adat, pesta perkawinan, atau pesta setelah rakyat memanen sawahnya.

Menurut Siregar, langkanya kesenian "Gordang Sambilan" ini bukan hanya karena sedikitnya orang-orang Tapanuli Selatan yang mau mencurahkan perhatiannya untuk melestarikannya. Tapi, orang-orang di Tapanuli Selatan sendiri pun sudah tidak banyak lagi yang mau menggunakannya untuk pesta-pesta adat atau acara-acara adat. "Itu bisa terjadi karena ongkos atau biaya pertunjukannya mahal. Kemahalannya bukan karena membayar orang-orang yang memainkannya, tapi membawa alat-alatnya dari Tapanuli Selatan memakan biaya yang tinggi," ujar Siregar yang sudah mendirikan "Gordang Sambilan" sejak tahun 1985. (smn)

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0107/03/daerah/gord19.htm

Pakantan Sebagai Cakrawala Kebangkitan Budaya


Seorang Pelancung Inggeris Bergambar di hadapan Bagas Godang di Pakantan
Foto Abdur-Razzaq Lubis

Pakantan Sebagai Cakrawala Kebangkitan Budaya
WASPADA Online
09 Jan 07 16:37 WIB

Prof. P.J. Veth, sejarawan Belanda sangat gandrung kepada hal yang berhubungan dengan letak geografis Indonesia. Beberapa karyanya diakui sebagai tonggak penemuan masa lampau peradaban di Indonesia. Daerah penelitiannya mencakup kepulauan Sumatera sampai ke kepulauan Timor. Sosoknya dikenal sangat serius dan jarang tertawa.

Hobbynya membenamkan diri pada timbunan kertas tua. Dari situ ia membuat catatan ringkas dan kemudian mengolahnya dengan sumber lain untuk dijadikan sebuah buku. Salah satu kegemarannya yang lain, yang jarang diketahui orang, adalah membaca memoir (buku harian) para prajurit kompeni.

Sering kali para prajurit menuliskan keluh kesahnya selama melakukan dinas ke daerah pedalaman. Seorang prajurit yang bernama belakang Logemann, mengunjungi wilayah Mandailing (tahun 1800-an), menulis : Penduduk di wilayah Mandailing Godang dan Mandailing Julu dalam teks ia menuliskan Groot Mandheling en Klein Mandheling, Oeloe en Pakanten , sangat memuliakan air, memuja air, sampai-sampai air yang saya minum enak sekali rasanya…

Walaupun ada beberapa buku yang ditulis oleh para ahli (T.Z. Willer dan Junghuhn) tentang Mandailing, tetap saja tulisan Veth merupakan rujukan penting tentang batas geografis Mandailing.

Awalnya tulisan-tulisan Veth sempat menjadi pembicaraan hangat di perkumpulan ' Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschapen' ( lembaga seni dan ilmu pengetahuan ) di Jakarta. Deskripsinya tentang kelompok etnis yang tersebar pada berbagai kepulauan Indonesia sangat mengagumkan. Akhirnya atas perintah gubernur jendral kumpulan karangan Veth disatukan menjadi satu buku yang berjudul ' Aardrijkskundig en Statistisch, Woorden Boek van Nederlandsch Indie', terbit tahun 1869. Karangan Veth tersebut sering kali menjadi sumber penting dalam melakukan penelitian tentang Indonesia. Corak pemikirannya tampak mempengaruhi tulisan Indonesianis G.F.E Gonggrijp dan W.F. Stuurheim.

Sedikit deskripsi Veth tentang Pakantan (1850-an) sebagai berikut : Sebuah distrik di kepulauan Sumatera, masuk ke dalam keresidenan Tapanuli, dialiri oleh sungai namanya ' Batang Gadis'. Urusan administrasi (perwakilan gubernemen) terletak di Kota Polak. Sedangkan wilayah yang mempunyai kepala kuria adalah Pakantan Dolok dan Pakantan Lombang. Seorang Opziener (pengawas) ditempatkan di Pakantan Lombang. Di daerah Pakantan Dolok terdapat tambang emas, tetapi hasil bumi yang utama adalah pinang, kentang dan jeruk . Sedangkan di Pakantan Lombang, yang waktu itu hanya ada 200 rumah, hasil buminya juga pinang, kelapa, beras dan kopi.

Sejarah Pakantan

Pakantan adalah sebuah desa yang terletak di bawah lereng Gunung Kulabu. Jaraknya kurang lebih 12 km dari Muara Sipongi. Daerahnya sangat dekat berbatasan dengan Rao ( Sumatera Barat). Menurut Tarombo ( silsilah ) marga Lubis di Pakantan, yang pertama kali diakui sebagai nenek moyang bernama Datu Sang Maima Na Bolon.

Selanjutnya keturunan Datu tersebut bernama Namora Pande Bosi I. Diakui sebagai awal yang menurunkan Lubis Si Langkitang dan Si Baitang. Beberapa generasi kemudian lahirlah Sutan Mogol, keturunan langsung dari Mangaradja Ulu Balang.

Sekitar tahun 1540-an, Raja Mangalaon Tua (Raja Pakantan I), membuka perkampungan di Pakantan. Saat itu yang menjadi kepala kampung di Huta Padang adalah anak Raja Mangalaon Tua yang pertama, Namora Tolang. Raja Gumanti Porang Dibata, anak yang kedua menjadi raja di Pakantan Dolok. Kemudian anak Raja Mangalaon Tua yang ketiga, Raja Sutan Barayun, menjadi raja di Pakantan Lombang.

Beralihnya paham Parbegu (belum beragama), menjadi Islam di Pakantan sangat berhubungan dengan peristiwa Perang Padri di Bonjol (1825-1830). Para perwira kerajaan waktu itu banyak masuk ke wilayah Pakantan dan wilayah Mandailing lain untuk menyebarluaskan agama Islam.

Misi Zending Belanda pernah menugaskan Hendrick Dirks untuk berkiprah di Pakantan. Atas persetujuan kepala kuria Pakantan Lombang, Raja Mangatas, ia mendapat pinjaman tanah tahun 1871. Akhirnya Dirks membuat rumah. Kemudian kampung itu dikenal dengan nama Huta Bargot.

Kopi adalah jenis komoditi utama di Pakantan. Menurut tulisan Prof.A.P.Parlindungan gelar Sutan Makhudum (Waspada, 17 April 1997), Kopi Arabika di Pakantan, disebut juga Kopi Mandili, kadang ditambahkan 'Pakant', artinya dari Pakantan. Adanya ungkapan khas untuk mengajak makan "Mangopi Hita Jolo ", menandakan pengaruh kopi sangat mendalam terhadap sanubari orang di Pakantan.

Kopi Pakantan terkenal di Benua Eropa. Rasanya sangat enak dan harum baunya. Orang Belanda yang penciuman bisnisnya tajam, pernah membangun gudang besar ( Pakhuis ) di Pakantan. Seterusnya kopi Pakantan diangkut dengan Pedati ke Padang. Dari pelabuhan Teluk Bayur dikapalkan menuju Belanda. Selain kopi Pakantan, padi juga merupakan tanaman unggulan di Pakantan. Orang menyebutnya dengan nama ' Eme si Pahantan'. Selain dikenal wangi padi tersebut sangat enak rasanya bila dimakan.

Di Pakantan banyak terdapat bangunan bersejarah yang unik. Adanya Bagas Godang dan Sopo Godang yang berusia ratusan tahun membuktikan orang Pakantan itu mempunyai kehidupan budaya yang berarti. Bagas na Godang di Huta Dolok berfungsi sebagai tempat pelaksanaan upacara relijius dan musyawarah adat. Bila diperlukan 'Gordang Sambilan' ditabuh untuk menambah sakralnya upacara tersebut. Di daerah Pakantan Lombang terdapat sebuah Bagas Godang yang unik. Garis yang tertera pada dinding (menurut tipologi unsur seni rupa), mencitrakan kultus keindahan yang penuh romantika.

Penulis bisa meyakini goresan seperti itu merupakan sebuah pengejawantahan panca indera yang bernuansa halus. Mungkin saja yang membuat bangunan Bagas Godang tersebut orang-orang yang memiliki sensibilitas yang tinggi terhadap seni lukis dan ukir. Selain itu terdapat Bale dari Namora Nasution, Bale Ompu Boru Lubis Silogun dan Bale Ompu Boru Lubis Hadungdung yang berada di Hutatoras. Bale Ompu Sutan Borayun terdapat di Pakantan Lombang. Bale Sutan Mogol, leluhurnya marga Lubis. Bagas Gambar yang didirikan tahun 1821 oleh Soetan Singasoro. Jasalamat di Silogun . Kemudian Bagas Godang dan Sopo Godang Lintang di daerah Pakantan Dolok. Pendirinya adalah Ida Lidya Lintang.

Hari Pekan biasanya jatuh pada hari Selasa. Orang Pakantan menyebutnya dengan istilah 'marpoken'. Selama hari pekan itu penduduk berbelanja lauk pauk untuk persediaan selama satu minggu. Zaman sebelum Indonesia merdeka, hari pekan di Pakantan selalu dipenuhi oleh hilir mudiknya berbagai bangsa yang datang. Rombongan sirkus, Opera Bangsawan Deli, Sulap dari India dan Tiongkok, permainan bola tarik Jepang sampai pertunjukan bioskop bisu, merupakan ragam hiburan yang terdapat di Pakantan.

Oleh : Koko Hendri Lubis (wns)
http://www.waspada.co.id/seni_&_budaya/budaya/artikel.php?article_id=81997

Gordang Sambilan, Kesenian Khas Pasaman Yang Terancam Punah


Gondang Sambilan, Kesenian Khas Pasaman yang Terancam Punah

Pasaman, Senin

Gondang Sambilan, suatu seni pertunjukan musik tradisi di Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat, kini terancam kelestariannya seiring semakin langkanya para pewaris kesenian tersebut.

Anwar Lubis (50), salah seorang pewaris kesenian itu, di Rao, sekitar 250 kilometer dari Kota Padang, Senin, menyebutkan, saat ini cuma tinggal beberapa sanggar yang tersisa dan itu pun sudah tidak lagi eksis.

Menurutnya, Gondang Sambilan merupakan jenis pertunjukan musik tradisi khas yang terdiri dari sembilan gondang (gendang) yang dipukul sebanyak sembilan personil dengan irama tertentu.

"Sekitar tahun 80-an ada belasan grup Gondang Sambilan yang rutin menggelar pertunjukan sekali sebulan. Bahkan saat musim panen juga diadakan pertunjukan, namun kini jumlah itu terus menyusut tajam," katanya.

Menurut Anwar, sulitnya pengkaderan dan keengganan generasi muda untuk belajar kesenian menjadi kendala utama melestarikan kesenian ini.

"Hanya tiga sampai lima orang remaja di daerah saya yang bisa memainkan musik ini, sudah saatnya ada gerakan melestarikan kesenian tersebut," jelasnya.

Sementara itu, di tempat terpisah, Bupati Pasaman H. Yusuf Lubis menjelaskan, pihaknya berupaya melestarikan kesenian khas daerah tersebut.

"Pasaman sebagai wilayah multietnis, ada Batak, Jawa, Minang, Tapanuli semuanya memiliki kesenian khas, termasuk Gondang Sambilan, kesenian yang tidak dijumpai di daerah lain, namun keberadaannya sudah semakin mengkhawatirkan," jelasnya.

Untuk itu pemda setempat akan memberikan pembinaan sekaligus menghidupkan sangar-sangar kesenian tradisi untuk melestarikannya.

"Gondang Sambilan akan kita angkat dalam setiap iven tingkat kabupaten, selain itu setiap sekolah juga akan dibina dengan kesenian tradisi setempat. Kami akan mendukung upaya ke arah itu," ujar Yusuf Lubis.

http://www.kompas.com/gayahidup/news/0601/02/190555.htm

Friday, July 13, 2007

Madina dan Hidup yang Dicukup-cukupkan


Panggetek di Batang Gadis
Foto Arbain Rambey

Madina dan Hidup yang Dicukup-cukupkan
Wajah Gusnan (43) terlihat lusuh. Sekujur badannya berkeringat. Siang itu ia memang cukup sibuk bercengkrama dengan Sungai Batang Gadis yang mengalir deras. Ia lalu mengusap keringatnya yang mengalir ke pipinya. Sambil mengepulkan asap rokok dari bibirnya, ia pun bercerita tentang kegelisahannya bersama penarik getek lainnya di sungai yang membelah Kabupaten Mandailing Natal (Madina) itu.

“Hari ini biasa saja,” katanya. Memang menjadi penarik getek itu susah, katanya lagi. Tapi setidaknya dapat menopang sedikit keperluan keluarga. Ada tiga penarik getek siang itu yang bertugas setiap harinya. Dari situ mereka bisa mengantongi uang untuk dibawa pulang. “Kadang-kadang banyak, lebih sering sedikit. Kalau dirata-ratakan sehari bisa dapat Rp 50.000-an. Itu pun tidak semuanya untuk kami. Sebab setiap bulan sebagian uang akan disetor ke kas desa untuk pemabanguan mesjid,” katanya.

Ia dan 15 panggetek lainnya bertugas bergantian. Setelah setahun genap “menjabat”, mereka pun harus siap digantikan oleh calon panggetek-panggetek lainnya yang telah ditentukan oleh kepala desa. “Hingga akhirnya nanti semua warga desa dapat giliran, baik anak muda maupun orang tua, saling bergantian sepanjang tahun,” jelasnya.

Tidak sepenuhnya mereka bergantung dari getek itu. Gusnan sendiri, selain menjadi “panggetek”, ia juga bertani. Lahannya sedikit, hanya 4 “bumbun”. Sedang 4 orang anaknya masih bersekolah. Ia lalu memaparkan alasannya mengapa ia menjadi penarik getek. “Tahun lalu, semua lahan saya amblas di serang tikus, rugi jadinya. Tapi, mudah-mudahan tahun ini tidak terulang lagi,” katanya. Tapi inilah yang kini membuatnya cemas. “ Sebab sebagian petani sudah mulai mengeluhkan sawahnya yang rusak diserang tikus lagi.,” katanya.

Beda pula dengan Ali Amin Pulungan (37). Selain menjadi panggetek, segala pekerjaan pun ia lakukan termasuk sebagai kuli bangunan. ”Sebab sebenarnya saya tidak bisa berharap sepenuhnya dari penghasilan getek ini,” katanya. Anak Ali dua orang, sedang istrinya bertani di sawah.

“Akhir-akhir ini memang lagi susah. Dari sawah rugi dari getek pun penghasilannya hanya sedikit. Bayangkan, sepertinya tikus-tikus di desa kami (Desa Pasar Huta Bargot Kecamatan Panyabungan Utara) kian merajalela. Hampir semua ladang diserang. Bahkan, ladang Pak Kepala Desa pun juga ikut dilibas,” katanya.

Di seberang dipan bambu yang sedikit tergenang air sungai itu, tampak bangunan setengah jadi yaitu pondasi jembatan (Jembatan Aek Godang) yang nantinya diharapkan menjadi sarana penghubung antara Desa Hadian Jior menuju Desa Pasar Huta Bargot menggantikan transportasi getek yang sudah puluhan tahun dipergunakan.

Pembangunannya sudah dimulai awal 2003. Meski belum diketahui kapan jembatan itu akan mulai dioperasikan, namun rupa-rupanya penarik getek itu sudah tampak cemas.
“Kami hanya belum siap mencari alternatif lain untuk mengisi pekerjaan sampingan kami nanti jika jemabatan sudah selesai dibangun,”ujar Gusnan. Jadi bagaimana? “Paling-paling kembali bertani. Saya sendiri menggarap lahan sawah milik orang lain. Hasilnya menunggu panen. Jika jembatan itu nanti sudah selesai dibangun dan jadwal menarik getek ditiadakan, terpaksa menganggur sambil nunggu objekan lain,” katanya cemas. Demikian halnya dengan Suaib Pulungan (33). Laki-laki beranak tiga ini tak banyak berkomentar. Ia mengakui pernyataan kedua rekannya piketnya hari itu.

Untuk tarif getek penumpang getek sebenarnya tidak terlalu mahal. “Sepeda motor, becak dan penumpang umum tarifnya Rp 1.000. Sedangkan anak sekolah tidak diberi tarif wajib. Biasanya gratis,” ujar Suaib. Sehari bisa dapat Rp 200 ribu pada hari pekan atau hari raya. “Tapi kalau buntung, ya enggak untung alias tidak bergaji,” kata mereka tertawa. Lalu bagaimana membiayai hidup sehari-hari, termasuk biaya sekolah anak-anak, makanan sehari-hari dan keperluan lainnya? Mereka pun menjawab dengan enteng: ”Ya, dicukup-cukupkan.”

Berkah dari balik bukit
Pukul 08.00 pagi Hasairin Lubis (48) sudah bergumul dengan air Sungai Batang Gadis yang alirannya sampai ke Desa Sabah Pasir Kecamatan Kota Nopan di mana ia akan menghabiskan harinya bekerja. Bermodalkan jerigen dan sekop, laki-laki beranak tujuh ini pun mulai mengais rezeki di sungai yang tepat di alas kaki Bukit Barisan itu.
“Letih,” ucapnya menyapa kami ketika kami menjumpainya di sela-sela istirahatnya. Hari itu, menjelang sore, ia hanya berhasil mengangakat pasir 1 m3 lebih sedikit dan kerikil 0,5 m3. Maklum, akhir-akhir ini memang sering hujan sehingga debit air naik dan menghalangi penggalian, katanya.

Pasir dan kerikil hasil galiannya sore itu lalu ia kumpulkan dengan hasil galiannya beberapa hari sebelumnya yang sudah menumpuk di bantaran. Sambil mengisap rokoknya ia pun duduk santai di sebuah gubuk kecil menghadap sungai, menunggu pembeli datang dan uangnya bisa dibawa pulang untuk keluarga nanti. Tapi, biasanya pasir dan kerikil dijual melalui perantara. Perantaranya adalah pemilik kedai kopi yang tak jauh dari sungai. Pemilik kedai lalu memberi tahu bila mana ada pemborong yang membutuhkan pasir dan kerikil dalam jumlah besar. “Maka kami pun mengumpulkannya bersama penggali-penggali lainnya,” kata Hasairin.

Inilah kisah mereka. Barangkali kehidupan yang sederhana sekali pun bukan berarti akhir dari segala-galanya. Tapi sesungguhnya, merekalah pejuang hidup yang sebenarnya.

“Hari ini pasir saya hanya terjual 1 m3 dan kerikil ¼ m3. Uangnya Rp 20 ribu untuk dibawa pulang,” katanya. Meski demikian, Hasairin tetap tersenyum. “Besok bisa saja lebih, sebab pasir dan kerikil saya ada sisa. Mungkin saja besok terjual semua,” cetusnya tersenyum. Ia tidak sendirian. Bersama istrinya yang bekerja sebagai petani, mereka pun mencukup-cukupkan uangnya untuk membiayai 3 lagi anaknya yang masih sekolah.

Sore itu di seberang sungai yang mengalir deras, terlihat 3 perempuan sedang asyik dengan sebidang tampi kecil di tangannya. Tak salah lagi, mereka adalah penambang emas. Sayangnya, kami tidak sempat berbicara dengan mereka akibat suara debur air. Untungnya, beberapa penambang pasir di sekitar sungai tahu persis dengan kisah mereka. “Mereka adalah penambang emas yang tinggal di desa seberang. Setiap hari ke sini,” kata Soptu (35) seorang dari mereka.

Menurut cerita orang-orang setempat, emas itu dijual setiap minggunya ke pekan 1/3 dari harga standar pasar. “Misalnya, jika harga emas 24 karat/gram Rp 25 ribu, maka meraka akan mendapatkan harga 1/3-nya dalam setiap gram,” ujar Hasairin.
Inilah kisah mereka. Barangkali kehidupan yang sederhana sekali pun bukan berarti akhir dari segala-galanya. Tapi sesungguhnya, merekalah pejuang hidup yang sebenarnya.

Tonggo Simangunsong
http://tonggo.wordpress.com/2007/03/07/madina-dan-hidup-yang-dicukup-cukupkan/

Kabupaten Mandailing Natal (Madina)

Rabu, 30 Juli 2003

Kabupaten Mandailing Natal
SEBUTAN Madina untuk Kabupaten Mandailing Natal terdengar sejak wilayah itu memisahkan diri dari kabupaten induknya, Tapanuli Selatan, tahun 1999. Di daerah perbukitan Kecamatan Panyabungan Timur yang potensial untuk perkebunan, diketahui terdapat tanaman ganja. Aparat keamanan memperkirakan, ada sekitar 11-14 hektar ladang ganja. Baru 9 ha yang ditemukan dan disita polisi.

MENGETAHUI di wilayahnya terdapat ladang ganja, pemerintah kabupaten, aparat keamanan bersama masyarakat, sepakat membasmi ganja dan senjata api. Tanggapan positif warga tercermin dari penyerahan 548,8 kilogram ganja dan 68 senjata api rakitan pertengahan Juli 2003 kepada Pemerintah Kabupaten Madina yang diteruskan ke polisi.

Pembasmian ladang ganja masih berlangsung, namun tugas berat sudah di depan mata, yaitu penanganan petani untuk alih usaha. Alternatif yang ditawarkan adalah penanaman karet dan kulit manis. Selain karena daerah perbukitan yang subur, sebagian masyarakat di sana hidup dari kulit manis. Sekitar 17 persen penduduk Madina hidup dari perkebunan dan 62 persen dari pertanian tanaman pangan. Tahun 2002, kontribusi sektor pertanian 55,7 persen dari total nilai kegiatan ekonomi yang Rp 1,68 triliun.

Tanaman pangan dengan komoditas utama padi di bagian timur menjadi andalan kabupaten. Setiap tahun produksinya rata-rata surplus 53.000 ton beras. Untuk perkebunan, tanaman karet dan kulit manis menjadi komoditas paling banyak digeluti penduduk yang 80 persen etnis Mandailing. Produksi karet Madina yang tersebar di wilayah selatan menempati urutan ketiga setelah Labuhan Batu dan Tapanuli Selatan dengan produksi sekitar 26.000 ton pada tahun 2001. Produksi kulit manis yang ditanam di hampir semua kecamatan belum mampu berbicara banyak di tingkat provinsi.

Dua komoditas perkebunan yaitu karet dan kulit manis masih berpotensi besar dikembangkan. Kecamatan Kota Nopan, Batang Natal, Kecamatan Panyabungan, Panyabungan Barat, Selatan, Timur, dan Utara masih memiliki lahan 30.948 hektar. Sementara, untuk kulit manis masih tersedia 574,35 hektar.

Keberadaan Madina yang berbatasan dengan Samudera Hindia memberikan keberuntungan tersendiri. Pantai sepanjang 170 kilometer menyimpan potensi besar yang belum digarap serius. Peluang usaha perikanan laut masih terbuka. Di pantai barat untuk menyebut Kecamatan Batahan, Natal, dan Muara Batang Gadis juga terdapat usaha sarang burung walet. Keberadaannya memberi kontribusi cukup besar. Tahun 2002 kontribusi sarang walet Rp 1,750 miliar atau sekitar 27 persen dari PAD.

Produksi pertanian seperti karet, kulit manis, padi, dan kopi menjadi komoditas utama perdagangan. Petani menjual hasil pertanian kepada pedagang yang mayoritas terpusat di ibu kota kabupaten. Pedagang lokal mengumpulkan komoditas dan menjual ke pedagang besar di Medan yang membutuhkan waktu tempuh 10-12 jam. Melalui pedagang besar luar daerah itulah komoditas pertanian diekspor ke negara tetangga seperti Malaysia.

Aktivitas perdagangan dengan komoditas hasil pertanian memberikan kontribusi terbesar kedua setelah pertanian. Tahun 2002, sektor perdagangan, hotel, dan restoran membukukan nilai Rp 335 miliar. Pemkab mengakui, keberhasilan perdagangan menggairahkan perputaran ekonomi daerah, tidak lepas dari peran pengusaha luar daerah yang mengekspor komoditas pertanian.

Perdagangan yang menyerap 11.594 tenaga kerja ini tidak langsung terpengaruh iklim masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat yang bernaluri tinggi untuk berdagang. Yang menjadi keprihatinan pemkab, tingginya aktivitas perdagangan yang terbatas pada komoditas pertanian ini berdampak pada lambatnya perkembangan industri pengolahan.
Usaha industri di Madina masih didominasi industri kecil dan menengah, seperti industri makanan dan kerajinan. Perkembangan industri yang dimaksudkan memberi nilai tambah pada komoditas pertanian yang belum mampu berbicara banyak. Apalagi dalam APBD 2003, sektor industri hanya dialokasikan dana 0,3 persen dari nilai belanja pembangunan yang Rp 112, 9 miliar. Lain halnya sektor perdagangan yang tahun 2003 dialokasikan dana pembangunan Rp 10,6 miliar.

Pemkab menyadari, untuk mengembangkan Madina dibutuhkan peran serta investor. Untuk menggaet penanam modal diperlukan kesiapan sarana dan prasarana memadai, misalnya perhubungan. Beberapa ruas jalan, khususnya di ibu kota kabupaten tampak lebar dan halus. Namun pemkab mencatat, tidak kurang 64 persen dari panjang jalan kabupaten rusak dan rusak berat. Mau tidak mau pemkab harus mengeluarkan dana untuk membenahi jalan. Sektor transportasi dialokasikan dana terbesar kedua setelah sektor aparatur negara dan pengawasan yaitu Rp 14,4 miliar atau 13 persen dari anggaran pembangunan 2003.

Kabupaten yang menyebut Tapanuli Selatan sebagai parameter kemajuan pembangunan dalam mengembangkan daerah masih harus berhadapan dengan kendala mendasar. Letak Panyabungan kurang menguntungkan, jauh dari pusat perdagangan. Dalam hal telekomunikasi, Madina hanya diberi alokasi 2.692 SST dan terpakai 52 persen. Itu pun terpusat di Panyabungan dan Kota Nopan. Investor yang ingin menggarap potensi daerah menunggu kesiapan sarana dan prasarana.

(Aritasius Sugiya/Litbang Kompas)

Tujuk Kali Meletus


Pendamping atau guide mendaki Sorik Marapi

Tujuh Kali Meletus

Di luar segala keindahannya, Gunung Sorik Marapi yang berada pada koordinat 00o41' 11.72" lintang utara dan 99o32' 13.09" bujur timut, sesungguhnya gunung yang berbahaya. Salah satu dari 129 gunung api aktif di Indonesia. Bahkan termasuk dalam kategori gunung berapi tipe A. Artinya, pernah meletus dalam 400 tahun terakhir.

Data dari Direktorat Vulkanologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan gunung ini pernah meletus sebanyak tujuh kali. Masing-masing pada tahun 1830, 1879, 1892, 1893, 1917, 1970 dan terakhir pada tahun 1986. Pada letusan terakhir, Sorik Marapi memuntahkan lahar panas dan debu.

Di udara, aliran debu itu bahkan sampai ke Kabupaten Pasaman di Sumatera Barat. Letusan merapi memang umumnya berupa letusan freatik, letusan debu yang bersumber dari kawah pusat, yakni danau vulkanik yang berada di puncak. Namun pada letusan tahun 1892 dan 1893, yang terjadi adalah letusan di kawah samping pada lereng sebelah timur. Dilaporkan sebanyak 180 orang tewas terkena lahar panas.

Setelah sekian lama, lahar itu kemudian menjadi sumber kesuburan bagi pertanian warga. Perkebunan jeruk, cabai dan tanaman sayuran dataran tinggi lainya, dapat dilihat di mana-mana.

Dengan kondisinya yang masih aktif, maka para pendaki diminta untuk melapor ke Pos Pengamatan Gunung Sorik Marapi yang ada di Desa Sibanggor Tonga. Hal ini penting dilakukan untuk mengetahui bagaimana status Sorik Marapi, karena kondisinya kadang berubah tak terduga. Misalnya pada pada 14 September 2004 lalu. Gunung ini sedikit menggeliat. Terjadi peningkatan kegempaan.

Dalam keadaan normal, gerakan getaran gempa yang dicatatkan komponen seismometer vertikal yang ditanam di kawasan puncak gunung, dan direkam seismograf di pos pengamatan secara telemetri, paling banyak hanya satu kali gempa dalam seminggu. Itupun berupa gempa vulkanik dalam yang hanya tercatat di seismograf, tidak terasa di permukaan. Namun pada hari itu, tercatat ada 142 kali gempa, bahkan sebelas di antaranya berskala II hingga III Modified Mercalli Intensity (MMI), sebutan ukuran untuk besarnya efek yang dirasakan di permukaan.

Karena peningkatan aktifitas ini, status Sorik Marapi yang semula berada di level satu, yakni aktif normal, ditingkatkan menjadi level dua, status waspada. Pemerintah Kabupaten Madina pun mengeluarkan imbauan agar pengunjung tidak mendekati puncak gunung. Pada Juli 2005, status waspada juga diberikan kepada gunung ini sekitar satu pekan karena peningkatan aktifitas kegempaan. Antara tanggal 8 hingga 14 Juli tercatat 112 gempa, dan 10 di antaranya terasa di permukaan.

Minimal Dua Guide

Jika aspek keamanan gunung sudah terpenuhi di Pos Pengamatan Gunung Sorik Marapi, maka pendaki juga disarankan untuk melapor kepada kepala desa setempat untuk alasan keselamatan pendakian. Biasanya pendaki disarankan untuk membawa guide yang berasal dari warga lokal. Mengenai biaya, tergantung tawar-menawar. Untuk tahun 2006 ini, angkanya sekitar Rp 30 ribu perorang.

Nah, pendamping atau guide juga tidak boleh satu. Minimal dua orang. Alasan mengapa harus dua orang, karena masalah keselamatan juga. Masalahnya kalau nanti pendaki jatuh atau ada masalah, guide yang satu bisa turun untuk membawa bantuan, sementara yang satu tetap mendampingi sang pendaki.

Biasanya guide yang mendampingi akan membawa serta senapan buruan. Jadi sementara dia bercerita tentang pantangan yang harus dipatuhi pengunjung selama mendaki, matanya juga berkeliaran di pucuk pepohonan mencari burung buruan.

“Jadi, kita dilarang memaki, mengucapkan kata yang tidak sopan, dan membuang sampah sembarangan, agar ...” Dhuarrr!!! Senapan menyalak dan guide tidak melanjutkan alasan pelarangan itu, karena sibuk memungut seekor burung piccala yang telah remuk tulang pahanya tertembus peluru.

http://khairulid.multiply.com/journal/item/158

Gumpalan Awan di Puncak Gunung Sorik Marapi


Sorikmarapi, seen here from the west, is a forested stratovolcano with a steep-sided, 600-m-wide summit crater containing a crater lake and substantial sulfur deposits. Another crater lake is located on the upper SE flank and several small explosion craters occur within the main crater and on the outer flanks. Small explosive eruptions have been documented from summit and flank vents in the 19th and 20th centuries
Photo by Tom Casadevall, 1987 (U.S. Geological Survey)

Gumpalan Awan di Puncak Gunung Sorik Marapi

Gumpalan awan seperti menyatu dengan puncak Gunung Sorik Marapi. Awan-awan itu seolah menjadi pagar bagi siapa saja untuk melihat puncaknya. Hanya jika matahari bersinar terik, barulah puncak terlihat dari kaki gunung. Itupun selalu ditingkahi kabut tipis. Untuk mengetahui bentuk puncak secara utuh, hanya dengan satu cara: berdiri di atas puncaknya.

Puncak, kabut dan gumpalan awan itu menjadi pesona sendiri bagi Gunung Sorik Marapi yang berada di Desa Sibanggor Julu, Kecamatan Tambangan, Kabupaten, Mandailing Natal, Sumatera Utara. Uniknya, Sebagai sebuah objek wisata, keberadaan Gunung Sorik Marapi, terbilang tidak begitu populer. Bisa dihitung dengan jari berapa banyak pendaki yang datang setiap bulannya.

Faktor jauhnya jarak dari Medan, ibukota Sumatera Utara, merupakan salah satu penyebab. Butuh waktu hingga 12 jam perjalanan dengan angkutan darat untuk menempuh jarak sepanjang 480 kilometer jarak dari Medan – Panyabungan, ibukota Kabupaten Mandailing Natal. Dari Panyabungan, harus menyambung dengan angkutan pedesaan menuju Desa Sibanggor Julu. Waktu tempuhnya sekitar 20 menit.

Desa Sibanggor Julu berada di lereng timur Gunung Sorik Marapi. Di desa inilah tempat terakhir bisa membeli perbekalan, mulai air mineral hingga biskuit. Titik awal pendakian dapat ditemui setelah melewati perumahan penduduk. Rumah-rumah panggung ini kental dengan tradisi lokal. Beratap ijuk dengan material dinding dan lantai dari kayu. Beberapa bagian rumah bahkan tidak menggunakan paku. Hanya belitan tali rotan sebagai perekat.

Seterusnya, setelah melewati barisan rumah tradisional itu, akan terlihat jalan setapak. Jalur itu melewati perkebunan coklat, karet, kopi dan tanaman keras lainnya milik penduduk. Titik awal pendakian itu adalah sebuah tanjakan ekstrim sekitar 75 derajat. Dengan stamina prima, setidaknya perlu 15 menit untuk melewati tanjakan ini. Tanjakan yang berada di ketinggian 1.100 meter dari permukaan laut (mdpl) ini merupakan tantangan pertama. Namun usai itu akan didapatkan shelter, tempat peristirahatan pertama. Posisinya persis di dinding bukit paling ujung. Jadinya, pandangan luas ke arah timur. Rumah-rumah penduduk tampak mengecil.

Tahapan perjalanan berikutnya relatif mudah. Walau jalanan terus menanjak, tetapi tidak terlalu menguras tenaga. Lantas akan terlihat perbukitan tandus. Awalnya tempat ini merupakan bukit belerang yang aktif. Beberapa penduduk mengatakan, sekitar tahun 1990-an percikan api mengakibatkan terbakarnya kawasan ini. Maklum saja, belerang memang mudah terbakar. Ratusan hektar kawasan di sekitar bukit belerang ini berubah jadi tumpukan arang.

Setelah belasan tahun, kini tumbuhan baru mulai hadir. Namun entah mengapa sumber belerang yang ada di bukit ini justru berhenti berproduksi. Sisa-sisa semburannya yang sudah membatu seperti naik-turun gelombang air laut.

Bukit belerang ini, merupakan tempat peristirahatan kedua. Jika berangkat sangat pagi, sekitar jam enam atau jam setengah tujuh, maka di tempat ini sarapan sangat nikmat. Teh manis panas di dalam termos akan sangat membantu. Setiap teguk yang mengalir di tenggorokan, akan mengusir dingin di sekujur tubuh. Suhu yang mencapai 20 derajat celcius bisa jadi akan sangat menyiksa jika tubuh tidak terbiasa dengan suhu dingin menyengat.

Tanah Lembab

Dari bukit belerang tadi, pendakian akan terasa menguras tenaga. Pemandangan pun monoton, hanya dominasi pohon-pohon besar. Sesekali tanaman berduri menyabet wajah sebab berada persis di tengah lintasan pendakian. Karena relatif jarang dilewati, maka jalur pendakian seringkali harus ditebas ulang. Terkadang lintasan itu berbentuk terowongan dari pepohonan liar.

Tetapi, kemungkinan untuk tersesat sangat kecil. Ada kabel yang mengikuti alur pendakian. Kabel ini mengalirkan listrik untuk sebuah tonggak pemancar di puncak gunung. Memegang kabel ini tentu saja sangat tidak dianjurkan. Walau menurut warga belum memakan korban, namun harap diingat: selalu ada yang pertama untuk semuanya, termasuk tersengat listrik di lereng gunung.

Lintasan di sini umumnya tanah lembab. Hujan yang turun pada malam sebelumnya menyebabkan tanah berubah jadi lumpur saat diinjak. Kicauan burung murai batu (Copsycus malabaricus) yang biasa disebut piccala di sana, atau jejak binatang liar dapat ditemukan di sepanjang lintasan. Kawasan Gunung Sorik Marapi yang merupakan bagian dari Taman Nasional Batang Gadis, memang tempat habitat kambing hutan (Naemorhedus sumatraensis), tapir (Tapirus indicus), kucing hutan (Catopumatem minckii), kancil (Tragulus javanicus), binturong (Arctitis binturong), beruang madu (Helarctos malayanus), rusa (Cervus unicolor) dan kijang(Muntiacus muntjac) atau landak (Hystix brachyura). Kebanyakan pemburu yang berasal dari warga desa, hanya berhasil menembak burung. Sementara binatang buas lainnya, sudah jarang ditemukan.

Setelah melewati sekitar lima tempat peristirahatan, dengan waktu tempuh sekitar tiga jam lebih dari awal titik pendakian, kawasan puncak gunung mulai terlihat. Pohon-pohon perdu khas ketinggian berjejer di kiri dan kanan. Struktur tanah pun sudah berubah. Dari tanah lembab, berubah menjadi pasir. Kaki pun melangkah lebih ringan. Hingga akhirnya tiba di puncak pertama.

Jika telah sampai di sini, ada baiknya mengikuti tradisi masyarakat sekitar yang masih terjaga. Pendaki disarankan untuk melakukan adzan. Selain untuk memuji keagungan Sang Maha Pencipta, adzan ini merupakan upaya spritual agar dapat selamat hingga waktu turun nanti.

Danau Vulkanik

Puncak pertama itu adalah hamparan tandus seluas sekitar setengah lapangan bola. Kebanyakan pendaki berhenti sampai di sini karena di sinilah sajian utama Gunung Sorik Marapi berada, sebuah danau vulkanik dengan air kebiruan. Inilah danau tertinggi di Sumatera Utara.

Danau ini menjadi pelepas lelah. Memandangnya dari tepian, seakan ada yang mengundang untuk terjun. Danau ini tidak ada namanya. Hanya disebut Danau Sorik Marapi. Airnya asam. Di sini semburan belerang masih kuat. Untuk turun ke danau, lumayan berbahaya. Jalurnya terjal, dan pijakan juga tanah pasir yang gampang runtuh. Bila tak awas, bisa terjun ke dasar danau yang dalamnya kira-kira 100 meter dari puncak pertama.

Tetapi dari atas saja, bisa dinikmati panoramanya. Dinding-dinding kawah danau terlihat menghitam, mencirikan kekokohannya. Sementara di beberapa sudut dinding, semburan asap solfatara perdengarkan suara menderu. Seringkali suaranya tidak terdengar karena tertimbun desau angin berkecepatan sekitar 40 kilometer per jam. Kadang angin seolah ingin membawa serta semua yang ada di puncak gunung untuk melayang bersamanya.

Berdiri berlama-lama di sini, akan membuat tubuh menggigil. Setidaknya butuh dua lapis jaket. Namun jika ingin mengambil visual danau dengan handycam maupun kamera, tantangan suhu dingin ini harus dihadapi. Kabut sering kali tidak bersahabat. Menutupi permukaan bahkan hingga keseluruhan danau. Makanya hampir tidak ada yang berhasil mengabadikan danau ini dengan utuh, tanpa sapuan kabut.

Puncak Sebenarnya

Dari lokasi danau ini puncak kedua yang merupakan puncak sebenarnya bisa didapati dengan berjalan sekitar setengah jam lagi. Jalurnya sempit. Di kiri danau, di kanan jurang. Berjalan beriringan akan sangat berbahaya. Harus antri.

Sebuah tanjakan ekstrim berupa jalur batu podas yang hanya muat satu pijakan kaki, harus dilewati. Membawa barang akan berpengaruh pada kelenturan tubuh. Sebab itu, ada baiknya menitipkan ransel atau bawaan kepada teman, agar bisa melangkah dengan tenang.

Sementara puncak itu sendiri hanyalah sebuah tonggak batu putih setinggi satu meter. Di sana tertulis angka 2.100. Kemungkinan maksud awalnya untuk menjelaskan tinggi gunung, namun angka ini salah. Ketinggian Gunung Sorik Marapi sebenarnya 2.145 meter dari permukaan laut (mdpl).

Berdiri di atas tonggak batu putih itu, pandangan hanya lepas ke arah utara dan selatan. Pohon-pohon perdu menghalangi pandangan ke arah lain. Tapi tidak mengapa dari kedua arah tadi, gugusan Bukit Barisan akan menjadi kenangan untuk dibawa pulang. Tapi jangan terlalu lama di puncak, selain dingin menusuk tulang, kabut juga akan menjadi masalah jika pulang lebih dari jam lima sore. Perlu waktu sekitar tiga jam untuk mendaki, serta satu jam lebih untuk turun. Lewat dari jam lima, senter akan sangat dibutuhkan agar tidak terjerembab waktu turun.
http://khairulid.multiply.com/journal/item/157

Sunday, July 8, 2007

SYEIKH MUHAMMAD SALEH AL MINANKABAWI SYEIKHUL ISLAM PERAK DARUL REDZUAN

MENGENAI ulama yang berasal dari Minangkabau ini, masih terdapat beberapa perkara yang masih bersimpangsiur. Terdapat dua nama mengenai orang tuanya, iaitu Abdullah dan Muhammad Thaiyib. Ayahnya yang bernama Abdullah digunakan pada tiga buah karyanya yang telah ditemui. Nama Muhammad Thaiyib pula digunakan sewaktu beliau menjadi Syeikh al-Islam Perak Darul Redzuan.Syeikh Muhammad Saleh dilahirkan di Kampung Tungkar, Luak Tanah Datar, Minangkabau, Sumatera Barat. Muridnya bernama Muhammad Saleh Mandahiling, penulis buku biografinya yang menyebut bahawa Syeikh Muhammad Saleh lahir kira-kira pada tahun 1266 Hijrah. Penulis masih meragui tahun andaian itu, kerana beberapa fakta bertentangan dengan jalan sejarah yang ada hubungan dengannya. Syeikh Muhammad Saleh meninggal dunia pada 17 Zulkaedah 1351 Hijrah/12 Mac 1933 Masihi di Kuala Lumpur. Dalam buku muridnya itu diceritakan bahawa Syeikh Muhammad Saleh bersahabat dengan Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau (lahir 1276 Hijrah), Syeikh Mukhtar Jawa/Bogor (lahir 1278 Hijrah) dan Syeikh Nawawi Bantan (1230 Hijrah). Berdasarkan perbandingan tahun kelahiran ulama-ulama yang tersebut dengan kelahiran Syeikh Muhammad Saleh (1266 Hijrah) itu, penulis berkesimpulan bahawa Syeikh Muhammad Saleh bukan sahabat Syeikh Nawawi Bantan tetapi beliau adalah muridnya. Kelahirannya yang diandaikan tahun 1266 Hijrah itu masih perlu dikaji semula, sekurang-kurangnya agak berdekatan dengan tahun kelahiran Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau (1276 Hijrah) dan Syeikh Mukhtar Jawa/Bogor (1278 Hijrah) itu.

Daftar isi

1 PENDIDIKAN
2 PENGEMBARAAN DAN AKTIVITI
3 MENJADI SYEIKH AL-ISLAM
4 KARYA KARYA
5 Murid-murid

PENDIDIKAN
Syeikh Muhammad Saleh berangkat ke Mekah sejak berumur 6 tahun mendapat pendidikan daripada orang tuanya, Syeikh Muhammad Thaiyib @ Syeikh Abdullah, seorang Syeikh haji di Mekah. Beliau sempat belajar kepada ulama-ulama besar Mekah yang terkenal, iaitu Saiyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Abu Bakar Syatha, Syeikh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makki, Syeikh Abdul Hamid asy-Syarwani, Saiyid Umar Ba Junaid, Saiyid Muhammad Said Babshail dan Saiyid Abdullah Zawawi.Dalam buku biografinya tidak disebut seorang pun gurunya yang berasal dari dunia Melayu secara jelas, tetapi memperhatikan jalan ceritanya, Syeikh Muhammad Saleh juga belajar kepada ulama-ulama dunia Melayu yang terkenal di Mekah pada zaman itu. Diceritakan dalam buku itu bahawa sewaktu Syeikh Muhammad Saleh akan memperdalam ilmu falak bersama beberapa orang kawannya. Kawan-kawannya hanya belajar empat kali saja kerana guru tersebut terlalu keras. Nama guru falak yang diceritakan dalam buku itu tidak dinyatakan. Syeikh Muhammad Saleh sempat khatam belajar kepada guru yang keras itu. Demi lebih memperoleh kefahaman, beliau belajar pula kepada seorang pemuda yang berusia 16 tahun, juga tidak disebut namanya.Daripada cerita di atas penulis berpendapat kemungkinan yang dimaksudkan guru falak yang terlalu keras itu ialah Syeikh Ahmad al-Fathani. Sedangkan pemuda ahli falak yang berusia 16 tahun itu, ialah Syeikh Muhammad Nur al-Fathani.

PENGEMBARAAN DAN AKTIVITI
Setelah belajar selama 17 tahun di Mekah, Syeikh Muhammad Saleh pulang ke Minangkabau. Selama kira-kira empat tahun di Minangkabau, digunakan untuk mengembara ke segenap pelosok wilayah itu, dan pada waktu-waktu tertentu membantu gurunya, Syeikh Muhammad Jamil mengajar. Pengembaraan di Minangkabau dimanfaatkannya pula berdakwah dan mengajar melalui pembacaan kitab, sama ada kitab bahasa Arab mahu pun bahasa Melayu. Sewaktu berada di Minangkabau selama empat tahun itu, Syeikh Muhammad Saleh berkesempatan pula belajar ilmu persilatan dan beberapa jenis ilmu hikmat untuk pertahanan diri yang diperlukan pada zaman itu. Diceritakan bahawa dalam ilmu persilatan, beliau telah mencapai martabat seorang pendekar. Dalam ilmu perubatan beliau berkemampuan pula mengubati berjenis-jenis penyakit. Syeikh Muhammad Saleh berangkat lagi ke Mekah kerana masih dirasakan kekurangan ilmunya dalam bidang-bidang tertentu, seperti ilmu falakiyah, ilmu manthiq, ilmu tafsir dan lain-lain. Setelah beberapa tahun belajar dan mengajar di Mekah, sahabat dan muridnya, Engku Kudin, putera Raja Deli-Serdang mengajak beliau menyebarkan Islam di kerajaan di Sumatera Timur itu. Selesai menunaikan haji tahun 1309 Hijrah/1892 Masihi, Syeikh Muhammad Saleh bersama jemaah haji menaiki kapal dari Jeddah ke Pulau Pinang.Selanjutnya Syeikh Muhammad Saleh mengembara di seluruh Semenanjung Tanah Melayu, mulai Pulau Pinang, Perak, Selangor, Pahang, Terengganu dan Johor. Di mana saja beliau pergi, beliau terus mendapat sambutan bukan hanya rakyat jelata tetapi juga para sultan setiap kerajaan yang tersebut itu.Daripada pergaulan dengan sultan-sultan Melayu, Syeikh Muhammad Saleh berkesimpulan bahawa Sultan Abdur Rahman Mu'azzam Syah, Sultan Riau-Lingga adalah sultan yang paling garang. Beliau mementingkan keindahan pakaian dan perhiasan serta menyukai kelazatan makanan dan minuman. Sultan Abu Bakar, Sultan Johor, adalah sultan yang cerdik, mengasihi rakyat dan mengutamakan kepentingan kerajaannya. Sultan Zainal Abidin III, Sultan Terengganu, adalah sultan yang sangat alim pengetahuan Islamnya dan sangat bertakwa kepada Allah. HAKIM DI KERAJAAN RIAU-LINGGA Sebelum Syeikh Muhammad Saleh menjadi Syeikh al-Islam Perak, beliau pernah memegang jawatan Hakim di kerajaan Riau-Lingga. Pelantikan beliau sebagai Hakim Riau-Lingga adalah atas kehendak Yam Tuan Muda Raja Muhammad Yusuf al-Ahmadi.Sebab-sebab Syeikh Muhammad Saleh diminta oleh Yam Tuan Muda Raja Muhammad Yusuf al-Ahmadi menjadi Hakim Riau-Lingga adalah untuk menjaga kewibawaan putera baginda, Sultan Abdur Rahman Mu'azzam Syah, Sultan Riau-Lingga ketika itu. Yam Tuan Muda Raja Muhammad Yusuf al-Ahmadi dalam beberapa tahun merasa gelisah kerana beberapa perkara di mahkamah banyak yang tidak dapat diselesaikan. Ada yang tertangguh sekurang-kurangnya tiga tahun. Syeikh Muhammad Saleh dapat menyelesaikannya, beliau adalah seorang ulama yang bijaksana, amanah. Semuanya dapat beliau selesaikan.Syeikh Muhammad Saleh terpaksa berpindah dari Riau, Pulau Penyengat ke Pulau Lingga untuk menjalankan tugasnya sebagai Hakim. Sewaktu Syeikh Muhammad Saleh memegang jawatan Hakim Riau-Lingga itulah salah seorang Kerabat Diraja Kerajaan Perak bernama Engku Raja Mahmud atau digelar dengan Imam Paduka Tuan Perak mengenalinya.Engku Raja Mahmud mengkagumi kebijaksanaan Syeikh Muhammad Salehdalam menyelesaikan pelbagai isu, apatah lagi ulama yang berasal dari Minangkabau itu dapat menggabungkan pengetahuan yang bercorak duniawi dan ukhrawi. Dengan bermacam-macam cara Engku Raja Mahmud memujuk ulama itu supaya berkhidmat di negerinya di Perak Darul Redzuan.

MENJADI SYEIKH AL-ISLAM
Engku Raja Mahmud akhirnya berhasil mengajak Syeikh Muhammad Saleh berpindah ke Perak setelah dua tahun beliau bertugas sebagai Hakim di Riau-Lingga. Manakala Engku Raja Mahmud kembali ke Perak, beliau dilantik menjadi Kadi Besar Kerajaan Perak. Syeikh Muhammad Saleh mulai mengajar pelbagai kitab-kitab Islam terutama kitab-kitab Melayu/Jawi di Kuala Kangsar pada tahun 1318 Hijrah/1900 Masihi. Sejak awal kedatangannya di Kuala Kangsar, beliau telah mendapat restu daripada Sultan Idris, Sultan Perak Darul Redzuan ketika itu.Selain mengajar kitab untuk pengajian orang tua-tua, Syeikh Muhammad Saleh juga berhasil mendirikan Madrasah Ihsaniyah yang menurut sistem pendidikan persekolahan di Teluk Anson.Cita-cita Sultan Perak untuk melantik seorang Syeikh al-Islam bermula tahun 1922 Masihi, namun secara rasminya Syeikh Muhammad Saleh al-Minankabawi memegang jabatan itu pada 6 Jamadilakhir 1343 Hijrah/1 Januari 1925 Masihi.

KARYA KARYA

1. Mawa'izhul Badi'ah, diselesaikan pada 24 Muharam 1335 Hijrah. Dicetak Mathba'ah Al-Ahmadiah, 1344 Hijrah. Kandungannya merupakan nasihat dan akhlak yang diringkaskan daripada Mawa'izhul Badi'ah karya Syeikh Abdur Rauf bin Ali al-Fansuri.

2. Kasyful Asrar, diselesaikan pada hari Selasa, 27 Safar 1344 Hijrah. Cetakan yang pertama hingga cetakan yang ke 29 oleh Maktabah wa Mathba'ah Al-Ahmadiah, Singapura. Kandungannya membicarakan tentang tasawuf haqiqat atau tasawuf falsafi. Karya ini pernah ditahqiq oleh Syeikh Haji Muhammad Wali al-Khalidi dengan judul Tanwirul Anwar fi Izhhari Khalal ma fi Kasyfil Asrar, diterbitkan oleh Al-Maktabatut Taufiqiyah, Jalan Perdagangan No. 4 Atas, Banda Aceh. Kasyful Asrar juga pernah diubahsuai ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Menyingkap Rahsia Agama Dan Tasawuf, diterbitkan oleh Yayasan Dakwah Islam, Surabaya.

3. Jalan Kematian, diselesaikan 14 Jamadilakhir 1344 Hijrah. Dicetak pada bahagian akhir Kasyfur Asrar oleh Maktabah wa Mathba'ah Al-Ahmadiah, Singapura.
4. Nashihatul Mubtadi, tanpa tarikh. Cetakan yang pertama Maktabah wa Mathba'ah Al-Ahmadiah, 1346 Hijrah/1927 Masihi. Kandungannya merupakan berbagai-bagai nasihat ke arah keteguhan pegangan dalam beragama Islam dan iman.

Murid-murid
Murid beliau sangat banyak di seluruh Semenanjung, di antaranya termasuk Sultan Iskandar Syah, Sultan Perak. Yang pernah menulis riwayat hidup beliau ialah murid yang lama berhubungan dengannya, ia adalah Muhammad Saleh Mandahiling, Tapanuli. Buku tersebut diberi judul Izalatul Hairan fi Qshshah Syaikhil Islam Darir Ridhwan, judul dalam bahasa Melayu adalah Menghilangkan Kehairanan Pada Menyatakan Cerita Syeikhul Islam Perak Darul Redzuan.

Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Syeikh_Muhammad_Saleh_Al-Minankabawi"
Pilkada Kabupaten Pasaman Trah Tuanku Imam Bonjol atau Tuanku Rao?

12 April 2005
(Media) - Kabupaten Pasaman terletak di wilayah paling utara Sumatra Barat (Sumbar). Daerah ini dilintasi garis khatulistiwa, tepatnya di Bonjol, daerah asal pahlawan nasional Tuanku Imam Bonjol.

Secara geografis, Pasaman tepatnya terletak pada 0,55 derajat Lintang Utara sampai dengan 0,11 derajat Lintang Selatan dan 99,55 derajat Bujur Timur sampai dengan 100, 21 derajat Bujur Timur.

Menurut sejarahnya, nama Pasaman berasal dari kata pasamoan yang berarti kesepakatan atau kesamaan. Kesepakatan yang dimaksud ialah antargolongan etnis penduduk yang mendiami wilayah tersebut.

Kabupaten ini memang didiami tiga etnis, yakni Minangkabau, Mandahiling, dan Jawa. Semenjak dimekarkan pada 2003 lalu, yang memisahkan Pasaman Barat dari Kabupaten Pasaman, dua etnis yang menonjol di kabupaten ini tinggal Minang dan Mandahiling. Karena, orang Jawa memang banyak berada di Pasaman Barat.

Hidup harmonis ratusan tahun bersama, kedua etnis yang berbeda budaya tersebut tak pernah bentrok. Bahkan, dalam keseharian budaya Minang dengan Mandahiling sudah saling membaur.

Di Kecamatan Duo Koto, misalnya, akan ditemui nama-nama marga yang sama dengan marga Mandahiling lainnya, seperti Batubara, Pulungan, Lubis, dan lainnya. "Tapi, mereka tidak patrilineal seperti halnya tradisi Mandahiling. Marga anak di sana mengikuti marga ibunya. Matrilineal seperti halnya di Minangkabau," kata Ketua KPUD Pasaman Willi Admiral.

Hal ini, antara lain karena di antara dua etnis tersebut banyak terjadi asimilasi melalui jalur pernikahan. Tidak adanya dikotomi soal Minang-Mandahiling, yang tegas selama ini dalam kehidupan sosial masyarakat setempat, menurut Willi, merupakan modal positif untuk memilih kepala daerah. Karena, masyarakat akan memilih sesuai dengan kemampuan dan integritas calon, bukan karena 'alasan buta' primordialisme.

Walau sudah ada pembaruan, sesungguhnya, kedua etnis masing-masing juga masih mempertahankan identitas. Setidaknya itu dilihat dari bahasa ibu yang digunakan.
Etnis Minang memakai bahasa Minang, demikian juga Mandahiling. Namun, bagi mereka yang 'gaul' biasanya menguasai kedua bahasa tersebut, dari mana pun asalnya.
Etnis Mandahiling mayoritas tinggal di bagian utara Pasaman. Mereka rata-rata menempati Kecamatan Duo Koto, Panti, Rao, Rao Utara, dan Rao Selatan. Jumlah mereka hampir sebanding dengan etnis Minang di wilayah tersebut.

Di wilayah ini, kedua etnis sudah menyatu dan merasa sebagai 'Orang Utara'. Sementara, di bagian selatan seperti di Kecamatan Lubuk Sikaping, Tiga Nagari, dan Bonjol, mayoritas penduduknya ialah etnis Minang. Mereka kemudian juga mengerucut menjadi 'Orang Selatan'.

Dikotomi Selatan-Utara tersebut, kini muncul (atau dimunculkan) ke permukaan oleh para 'pekerja politik' di Pasaman. Apalagi kalau bukan karena akan diadakannya pemilihan bupati di sana pada 27 Juni nanti.

Sesuai data pencalonan, Willi Admiral mengatakan, hingga ditutup pendaftaran pada 27 Juni lalu, sudah mendaftar tiga pasang calon ke KPU Pasaman. Mereka adalah pasangan AKBP Yusuf Lubis sebagai calon bupati (cabup) dan Hamdy Burhan Datuk Bagindo sebagai calon wakil bupati (cawabup). Keduanya diusung oleh partai-partai yang memiliki kursi di DPRD Pasaman, yakni PAN 4 kursi, PKPB 3, PKS 2, PKB 2, PDIP 1, PBB 1, dan Partai Merdeka 1 kursi. Total koalisi tersebut sebanyak 14 kursi.

Pasangan kedua diusung oleh PPP yang memperoleh 5 kursi di DPRD Pasaman, yakni Sekdako Bukittinggi Khairul sebagai cabup dengan pasangannya, Hj Rahanum (notaris) sebagai cawabup.

Sementara Partai Golkar sebagai pemenang pemilu di Pasaman dengan perolehan 10 kursi bersama PKP Indonesia (1 kursi) mengusung Ketua DPD Partai Golkar Pasaman Benny Utama yang sebelumnya menjabat Wakil Bupati Pasaman bersama Letkol CAJ Buyung Nurlan Tanjung sebagai cawabup.

Jika berpedoman kepada hasil pemilu legislatif pada 2004 lalu, maka yang paling berpeluang adalah pasangan Benny Utama-Buyung Nurlan yang menggabungkan Partai Golkar, PKP Indonesia, serta 9 partai lainnya. Total perolehan suara koalisi ini pada pemilu legislatif sekitar 44 ribu (43,56%).

Pasangan ini ditempel ketat Yusuf Lubis-Hamdy Burhan yang dicalonkan tujuh partai dengan perolehan suara sekitar 40 ribu (39,60%). Sisanya, baru diambil oleh pasangan yang dicalonkan PPP, Khairul-Rahanum.

Apakah hitungan di atas kertas itu dalam realitasnya sama saat pilkada dilangsungkan?
Bisa jadi ya atau tidak. Ya, jika Partai Golkar setempat bisa mengulang sukses mereka pada pilpres pertama memenangkan calon Partai Golkar Wiranto.

Berbeda dengan daerah lain di Sumbar yang dikuasai Amien Rais, di Pasaman, Wiranto memang menang dengan 38,15%, mengungguli Amien yang memperoleh 29,03% dan Susilo Bambang Yudhoyono 21,39% dari total sekitar 100 ribu suara sah.

Jika Partai Golkar kembali menggerakkan mesin politiknya seperti dalam hal pilpres pertama, Benny bisa melenggang mulus ke kursi bupati. Apalagi, selama menjadi wakil bupati, tokoh asal Lubuk Sikaping (wilayah selatan), Kabupaten Pasaman, tersebut sudah amat dikenal oleh masyarakat Pasaman. Benny memang rajin turun ke bawah, dekat dengan masyarakat Pasaman.

Tapi, tunggu dulu. Yusuf Lubis yang masih menjabat Kapolresta Padang Panjang, Sumbar, tersebut berasal dari Rao (wilayah utara) Kabupaten Pasaman. Seiring munculnya dikotomi Utara-Selatan tersebut, Yusuf harus diperhitungkan.

Karena, dialah satu-satunya cabup dari wilayah utara yang memiliki potensi pemilih sebesar 60%. Sedangkan Benny harus berebut dengan Khairul di selatan yang hanya memiliki potensi 40% pemilih.

Persoalannya, apa masyarakat mau dikotak-kotak dengan dikotomi Utara-Selatan yang selama ini kurang populer tersebut? Toh, masing-masing pasangan juga amat menghargai daerah yang berbeda dengan mereka.

Buktinya, Yusuf dari Utara, memilih Hamdy sebagai wabup dari Bonjol (Selatan). Benny dari Selatan memilih Buyung dari Kecamatan Panti (Utara) sebagai cawabup. Demikian juga Khairul dari Selatan memilih cawabup Rahanum dari Rao (Utara).

Wacana Utara-Selatan itu tadi memang gencar menjadi bahan isu para politikus. Selatan dilambangkan sebagai Tuanku Imam Bonjol, sementara Utara dilambangkan dengan Tuanku Rao.

Sekadar menengok ke belakang, semasa hidup, Tuanku Imam Bonjol memang memusatkan perjuangannya di Bonjol (sekarang Kecamatan Bonjol), Pasaman Selatan. Sementara Tuanku Rao, salah seorang panglima perang Tuanku Imam Bonjol, ditugaskan untuk memimpin perjuangan di Rao, di Pasaman bagian utara.

Tuanku Rao diakui oleh orang Minang sebagai 'urang awak', sementara etnis Mandahiling pun mengklaim panglima tersebut sebagai kerabat Raja Sisingamangaraja. Artinya, Tuanku Rao memang menjadi simbol kesatuan orang Utara.

Kini, mereka menyusun kekuatan agar 'Tuanku Rao' bisa menang agar tak selalu 'Tuanku Imam Bonjol' yang memerintah.

Budayawan Sumbar asal Pasaman, Eddy Utama, kepada Media mengakui adanya upaya untuk menegaskan Utara-Selatan, bahkan juga berkembang menjadi kesadaran untuk mempertegas geokultural Minang-Mandahiling.

"Budaya Minang dan Mandahiling di Pasaman selama ini tak menonjol sebagai sebuah perbedaan. Namun, dalam kondisi terakhir memang ada kesadaran untuk mempertegas geokultural itu," kata mantan Ketua Dewan Kesenian Sumatra Barat (DKSB) tersebut.
Selagi itu tidak berlebihan, menurutnya sah-sah saja. Tapi, Eddy yang biasa dipanggil Bung mengingatkan, di tingkat pendukung dan tim sukses para calon, ini jangan dibiarkan berkembang menjadi tajam dan malah akan mengakibatkan konflik horizontal.

Apa pun slogan dan isunya, asal masih dalam koridor hukum dan etika, sah saja. Namun, yang lebih penting apa yang harus dilakukan bupati terpilih nanti.
"Potensi pertanian, perikanan di daerah ini belum maksimal dikembangkan. Demikian juga dengan perkebunan rakyat yang banyak terdapat di daerah ini. Hal lain, pentingnya untuk memperlebar jalan lintas Sumatra di sepanjang Kabupaten Pasaman," kata Bung.

Jalan yang kecil, selama ini, menghambat akses jalan antara kota-kota besar di provinsi lain seperti Medan dan Pekanbaru yang melalui Pasaman. Jika infrastruktur seperti jalan belum layak, menurut Bung, amat susah untuk mulai membangun industri.

Hendra Makmur/P-4
Sumber: http://www.mediaindo.co.id/cetak/berita.asp?id=2005041201285216

Saturday, July 7, 2007

Kisah Dari Desa, Kisah Tentang Kekalahan


Penghuni Desa Manambin, Mandailing Julu
Foto Abdur-Razzaq Lubis
tulisan ke-2
KISAH DARI DESA, KISAH TENTANG KEKALAHAN

HAMPARAN sawah menguning bak permadani. Biji kopi yang masak menyala merah di antara hijau daunan. Aneka sayur dan berbagai tanaman keras, seperti kayu manis dan karet, tumbuh subur. Air Sungai Batang Gadis mengalir tak henti-hentinya sepanjang tahun.

BERBEDA dari petani di Jawa yang ketersediaan lahannya sudah sangat sempit, di lereng Gunung Sorik Merapi, Mandailing Natal, petani sebenarnya masih memiliki lahan yang cukup. Rata-rata mereka memiliki seperempat hektar sawah dan 2-4 hektar ladang yang biasa ditanami kopi, karet, aren, kayu manis, serta berbagai macam buah-
buahan.

Data di Badan Pusat Statistik tahun 2003, angka kepadatan penduduk di Mandailing Natal hanya sekitar 56 jiwa per km2. Bandingkan dengan kepadatan penduduk di Jawa yang pada tahun 1999 saja rata-rata sudah di atas 814 jiwa per kilometer persegi.

Namun, kepemilikan dan kesuburan tanah bukanlah aset yang menjanjikan lagi. Harga jual hasil pertanian yang selalu anjlok saat panen dan naiknya biaya produksi pertanian adalah lagu lama bagi petani di lereng Sorik Merapi yang kian nyaring terdengar.

Simaklah kisah Asmara Lubis (42), petani dari Desa Huta Godang, Kecamatan Ulu Pungkut, Mandailing Natal. Lelaki itu telah bersabar menunggu 12 tahun sebelum akhirnya memutuskan menebang pohon kayu manis di ladangnya. Karena merasa hasilnya kurang banyak, dia menebang satu lagi pohon kayu manis berumur delapan tahun. Butuh
kerja keras selama empat hari untuk menebang, menguliti, dan menjemur kulit kayu hingga siap dijual. Namun, penjualan dari dua pohon kayu manis yang berumur delapan dan 12 tahun itu hanya menghasilkan uang Rp 21.000, sementara harga parang yang ingin dia beli Rp 31.000.

Sejumlah komoditas andalan lain, seperti kopi, kentang, dan berbagai macam sayur-mayur, juga selalu anjlok harganya saat panen. Beberapa bulan lalu, Asmara dan kelompok taninya menanam kentang secara kolektif di lahan seluas sekitar lima hektar dengan bibit sebanyak 1,5 ton. Harga bibit saat itu mencapai Rp 12.000 per kilogram (kg). Sedangkan biaya yang dikeluarkan untuk membeli pupuk dan obat-obatan mencapai Rp 6 juta. Total biaya yang dibutuhkan mereka sebanyak Rp 18 juta.

"Hasil panen sebenarnya sangat memuaskan, kualitasnya baik dan produksinya sekitar 10 ton. Namun, yang jadi masalah kentang kami hanya dihargai Rp 1.700 per kg. Kami rugi sekitar Rp 1 juta," katanya.

Selain masalah harga, serangan hama dan penyakit terhadap tanaman juga berkembang pesat, jauh meninggalkan teknologi yang digunakan petani untuk mengatasinya. Tanaman cabai, yang sebelumnya menjadi andalan warga sekitar Sorik Merapi, kini juga hancur terserang penyakit keriting kuning tanpa bisa teratasi. Dan jeruk sibanggor, yang pernah menjadi penopang ekonomi juga hampir punah karena
terserang berbagai penyakit.

***

KISAH tentang petani Sorik Merapi hanyalah satu kisah desa-desa kita. Di desa-desa waktu seakan berhenti. Bahkan, sebagian seakan berjalan mundur, menuju titik mati.

Di Huta Godang, Kecamatan Ulu Pungkut, Mandailing Natal, sisa-sisa kejayaan masa lalu masih tergambar pada kemegahan rumah-rumah adat yang dikelilingi hamparan sawah yang luas. Namun, rumah-rumah dan segala isinya tersebut ditinggalkan pewarisnya yang memilih menjadi pengusaha di Medan.

Aktivitas ekonomi Negeri Suah, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, sejak puluhan tahun terakhir stagnan. "Dari dulu desa kami seperti ini. Jumlah warga yang tinggal di sini tidak bertambah, bahkan jumlah rumah berkurang. Jika dulu 16 rumah, sekarang tinggal 15 rumah. Jalan dari kota ke sini juga makin rusak saja dan membuat desa kami ini kian jauh dari dunia luar," ujar Nelson Barus (43), warga setempat.

Walaupun tak "berkembang", untuk kebutuhan makan sehari-hari, warga Negeri Suah sebenarnya masih berkecukupan karena hampir setiap keluarga masih memiliki sawah yang panen padinya cukup untuk makan selama setahun.

Masalah sebenarnya muncul saat orang-orang desa berinteraksi dengan dunia luar, terutama untuk menyekolahkan anak dan berobat ke dokter. Kenyataannya, walaupun cukup makan, mereka tidak cukup uang untuk mengikuti ritme kehidupan modern yang segala sesuatunya harus dibayar dengan uang.

Bagi masyarakat desa, uang susah didapat. Mereka kaya barang dan sumber daya alam, tetapi miskin uang. Harga hasil bumi mereka dihargai sangat murah oleh pembeli. Misalnya, karet yang merupakan komoditas andalan Negeri Suah hanya dihargai tengkulak kurang dari Rp 4.000 per kg. Padahal, di Medan harga karet Rp 4.800 per kg.

Warga yang sakit harus digotong ke desa tetangga yang berjarak sekitar setengah jam jalan kaki. Ongkos berobat menjadi sangat mahal untuk ukuran orang desa.

Pendidikan juga menjadi dilema. Anak-anak yang bersekolah di sekolah dasar (SD) harus berjalan kaki ke luar desa. Sedangkan, sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas yang terdekat hanya ada di Bandar Baru yang harus ditempuh selama empat jam dengan sepeda motor atau seharian berjalan kaki.

Beban berat itu misalnya dirasakan keluarga Kardi Barus (58), warga yang memiliki dua anak. Anak pertamanya sudah berkeluarga dan tinggal di Medan. Sedangkan anak bungsunya, Serli Novita Barus (16), masih sekolah di sekolah menengah ekonomi atas di Kabanjahe. Tiap dua pekan Kardi harus mengirim uang kepada anak bungsunya itu sedikitnya Rp 200.000. Belum lagi dia harus membayar uang BP3 Rp 400.000 setahun
sekali.

Beban Kardi tambah berat karena cucunya yang masih balita dari anak pertamanya yang telah bercerai dititipkan padanya. Sedikitnya Rp 200.000 per bulan tandas untuk membeli susu dan biskuit bagi cucunya. Seluruh kebutuhan keluarganya ditopang dari ladang karet seluas setengah hektar. Rata-rata, dia bisa mendapatkan 5 kg karet per hari. Dengan penghasilan maksimal Rp 24.000 per hari atau sekitar Rp 168.000 per minggu, praktis semuanya tersedot untuk membiayai sekolah anaknya dan membeli susu untuk cucunya.

Sementara itu, kualitas pendidikan di desa sepertinya juga mustahil menjadi gerbang perubahan strata sosial dan ekonomi. Berbagai keterbatasan menyebabkankualitas pendidikan di desa sangat rendah sehingga lulusannya kesulitan bersaing dengan sekolah-sekolah unggulan di kota.

Di Dusun Sigoring-goring, Desa Pangirkiran Dolok, Kecamatan Binanga, Tapsel, misalnya, fasilitas pendidikannya sangat minim. SD satu-satunya di dusun yang dibangun secara swadaya pada tahun 1982 tersebut hanya memiliki satu ruang kelas sehingga seluruh siswa mulai dari kelas I hingga kelas VI bercampur dan gurunya hanya seorang.

Hingga kini murid-murid SD di sana harus belajar dengan menggunakan buku-buku pelajaran kejar paket A, B, dan C terbitan tahun 1997, yang sebenarnya ditujukan untuk ujian persamaan. "Susah mengharapkan lulusan SD kami bisa meneruskan ke jenjang lebih tinggi. Di samping masalah biaya, mereka kesulitan ikut ujian," kata Raja Dima Siregar, satu-satunya guru di SD itu.

Bagi warga desa yang tidak memiliki keahlian dan pendidikan formal memadai, interaksi ekonomi dan sosial dengan dunia luar adalah sebuah eliminasi.

***

ELIMINASI kekuatan luar terhadap warga desa dalam beberapa kasus lain dilakukan dengan sangat keras. Aset desa diperas, dikuasai, dan warganya kemudian diusir keluar dari tanah mereka sendiri.

Hal itu misalnya dialami orang-orang Mandailing di Dusun Sibengggol, Desa Pangirkiran Dolok. Sedikitnya 17 rumah warga Dusun Sibenggol, Pangirkiran Dolok, dibakar perusahaan perkebunan swasta nasional. Warga yang rata-rata tak mengerti masalah hukum tersebut kemudian diusir ke luar dusun dan 650 hektar tanah adat diambil alih untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit.

Kini warga Sibenggol mengungsi ke dusun-dusun lain di Desa Pangirkiran. Warga desa sempat melawan dan mengadu ke aparat keamanan serta instansi pemerintahan. Namun, justru Dusun Sibenggol dan bekas ladang mereka telah dikelilingi parit oleh perusahaan tersebut. Tak seorang warga dusun pun yang berani ke sana karena tanah tersebut dijaga para centeng bersenjata.

Warga Desa Kodon-kodon, Kecamatan Merek, Kabupaten Karo, juga mengalami nasib serupa. Kalangan pengusaha yang melihat strategisnya lokasi Gorat Ni Padang, tanah adat milik desa, lalu mengambil alih.

Sang pengusaha yang berhasil menggandeng investor asing bermimpi untuk membangun lapangan golf, hotel, perkebunan, dan berbagai sarana wisata lain di sana. Mereka yakin bisa memberi nilai lebih lahan adat tersebut. Namun, proses ganti rugi bermasalah karena hanya sebagian warga yang mendapatkan. Dan ladang milik warga justru terkena longsor, dampak dari pembangunan tersebut.

Saat warga menuntut, mereka kalah. Pembangunan yang proses perizinannya belum selesai itu pun jalan terus. Sementara itu, pemerintah daerah merestuinya. Alasannya, investasi asing akan menaikkan pendapatan daerah dan nantinya akan berdampak bagi kesejahteraan masyarakat.

Dalam kasus lain, warga juga dimanfaatkan kekuatan dari luar untuk melakukan perusakan sumber dayanya sendiri, dengan imbalan tak seberapa. Di Desa Angin Barat, Kecamatan Kota Nopan, Mandailing Natal, warga desa yang semula menentang keras usaha penebangan hutan di sekitar desa mereka akhirnya diam ketika mereka dijanjikan tanah
bekas hutan itu akan diserahkan kepada masyarakat.

Namun, saat hutan sudah rusak dijarah dan pengusaha telah pergi, pemerintah dan aparat keamanan kemudian datang untuk melarang alih fungsi lahan hutan menjadi perkebunan. Janji-janji penyerahan lahan itu menjadi semu. Sementara itu, longsor dan banjir kini mengancam warga desa akibat perusakan hutan.

Desa-desa seperti dikepung kekuatan dari luar yang sangat agresif dalam memanfaatkan lahan sebagai aset ekonomi semata. Sementara sumber daya di desa loyo karena putra-putra terbaik mereka memilih
merantau keluar. (AHMAD ARIF)

http://ayiek.multiply.com/journal/item/1